Strategi pengelolaan keuangan yang sama, mungkin saja diterapkan oleh sebagian besar kita kaum urban. Atas alasan networking, atas alasan sosialisasi atau efektifitas, terjebak dalam lingkaran pergaulan yang mengedepankan gaya hidup menengah atas.
Biaya Hidup dan Gaya Hidup, Bagai Bumi dan Langit
Kalau saya simpulkan pemaparan Dipa, biaya hidup adalah biaya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sesuai kemampuan. Ketika kita butuh makan, kita perlu ongkos untuk makan, dengan menyesuaikan uang dipunyai.
Misalnya punya uang 15 ribu, ya sebaiknya membeli makanan seharga yang dimiliki, misalnya beli pecel lele seharga 12ribu. Atau kalau ingin dibuat makan dua kali, bisa dibelikan beras sekilo (misal 10ribu) sisanya membeli tempe atau telur.
Sedangkan gaya hidup treatmentnya lain, pada saat lapar di pikirannya adalah makan di restoran mana. Brand dari resto atau rumah makan, yang muncul pertama kali di pikiran.Â
Patokannya, bukan lagi tentang berhitung uang dimiliki setara harga seporsi makanan apa. Tetapi tentang menu olahan favorit, kemudian pengin mengeksplor menu dengan cara olah lain.
Tetapi menurut financial planer, untuk kebutuhan harian sebaiknya kita terapkan pengelolaan keuangan yang tepat. Kita jangan berpikiran yang penting hari ini, urusan nanti ya bagiamana nanti. Ini salah besar Kompasianer.
Pengelolaan keuangan yang baik, tidak berpikiran uang yang ada hari ini dihabiskan untuk hari ini. Tetapi mengelola uang yang dipunyai, kira kira bisa dialokasikan sampai beberapa waktu ke depan. Sambil mengantongi uang dimiliki, sembari memaksimalkan ikhtiar untuk mendapatkan pemasukan.Â
Agar pemasukan dan pengeluaran terpantau dan terukur, harus ada yang namanya pencatatan dan pemisahan Jadi misalnya (contoh kasus si ibu) uang sekolah dilunasi, kalau ada sisa disimpan untuk pembayaran seko;ah bulan depan. Rasanya masalah catat dan pisah, semoga bisa saya tuliskan di lain waktu.Â
Kembali ke masalah gaya hidup, sah-sah saja setiap orang punya standart. Tetapi kalau dengan standart ditetapkan, ternyata malah menyiksa diri jadinya 'kan repot. Membuat standar gaya hidup sesuai kemampuan, saya rasa sangat lebih bijak.