Di timeline medsos saya, pernah selintas muncul status dari akun seorang ibu, yang menulis (isinya) sedang kerepotan membayar uang sekolah anak. Padahal sudah akhir bulan, artinya si ibu benar-benar dikejar tenggat pembayaran.
Beberapa reply (meski tak banyak) muncul di kolom komentar, berisi doa semoga segera bisa menyelesaikan pembayaran. Ada juga saran dan masukan, agar ibu tetap bersabar dan tak henti berikhtiar.
Sependek ingatan, saya sendiri relatif minim membuat status isinya keluhan. Lebih-lebih soal kesulitan keuangan, bagi saya masalah ini sangat-sangat personal.Â
Alih-alih mendapat solusi, biasanya yang ada justru (menurut saya nih) mempermalukan diri. Tapi setiap orang beda jalan pikiran, jadi saya tidak berhak menghakimi keputusan orang lain.
Selang dua hari kemudian, rasanya ada yang aneh dan janggal di timeline saya. Akun pembuat status kesulitan uang sekolah, melintas lagi di laman medsos saya.Â
Si ibu memasang foto, diberi caption tidak begitu panjang. Inti status tersebut, pagi pagi sedang melewatkan waktu dengan nongkrong di sebuah Cafe sembari bekerja.
Sudut pengambilan gambar juga cukup pas, tampak logo Cafe warna hijau tua tersemat di gelas warna putih tulang. Persis di sebelah logo Cafe, tertulis nama si ibu dengan spidol tinta hitam. Dengan sekali melihat brand di gelas tersebut, saya bisa mengira ngira berapa harga segelas kopi di Cafe ini.
Dua status dalam waktu berdekatan ini, menurut saya sangat kontras. Â Belum lama mengeluh tidak punya uang bayar sekolah anak, disusul nongkrong di Cafe dengan segelas kopi mahal.
Bisa jadi, mungkin setelah menulis status, si ibu punya uang dan beres membayar kewajiban. Kemudian masih ada kelebihan uang , selanjutnya bisa untuk ngopi cantik di Cafe. Tapi baiklah, saya tidak ingin berpolemik dengan masalah ini.
Strategi pengelolaan keuangan yang sama, mungkin saja diterapkan oleh sebagian besar kita kaum urban. Atas alasan networking, atas alasan sosialisasi atau efektifitas, terjebak dalam lingkaran pergaulan yang mengedepankan gaya hidup menengah atas.
Biaya Hidup dan Gaya Hidup, Bagai Bumi dan Langit
Kalau saya simpulkan pemaparan Dipa, biaya hidup adalah biaya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sesuai kemampuan. Ketika kita butuh makan, kita perlu ongkos untuk makan, dengan menyesuaikan uang dipunyai.
Misalnya punya uang 15 ribu, ya sebaiknya membeli makanan seharga yang dimiliki, misalnya beli pecel lele seharga 12ribu. Atau kalau ingin dibuat makan dua kali, bisa dibelikan beras sekilo (misal 10ribu) sisanya membeli tempe atau telur.
Sedangkan gaya hidup treatmentnya lain, pada saat lapar di pikirannya adalah makan di restoran mana. Brand dari resto atau rumah makan, yang muncul pertama kali di pikiran.Â
Patokannya, bukan lagi tentang berhitung uang dimiliki setara harga seporsi makanan apa. Tetapi tentang menu olahan favorit, kemudian pengin mengeksplor menu dengan cara olah lain.
Tetapi menurut financial planer, untuk kebutuhan harian sebaiknya kita terapkan pengelolaan keuangan yang tepat. Kita jangan berpikiran yang penting hari ini, urusan nanti ya bagiamana nanti. Ini salah besar Kompasianer.
Pengelolaan keuangan yang baik, tidak berpikiran uang yang ada hari ini dihabiskan untuk hari ini. Tetapi mengelola uang yang dipunyai, kira kira bisa dialokasikan sampai beberapa waktu ke depan. Sambil mengantongi uang dimiliki, sembari memaksimalkan ikhtiar untuk mendapatkan pemasukan.Â
Agar pemasukan dan pengeluaran terpantau dan terukur, harus ada yang namanya pencatatan dan pemisahan Jadi misalnya (contoh kasus si ibu) uang sekolah dilunasi, kalau ada sisa disimpan untuk pembayaran seko;ah bulan depan. Rasanya masalah catat dan pisah, semoga bisa saya tuliskan di lain waktu.Â
Kembali ke masalah gaya hidup, sah-sah saja setiap orang punya standart. Tetapi kalau dengan standart ditetapkan, ternyata malah menyiksa diri jadinya 'kan repot. Membuat standar gaya hidup sesuai kemampuan, saya rasa sangat lebih bijak.
Abaikan omongan orang lain, kalau tidak nyaman sebaiknya menghindar. Toh kalau kita susah menaggung utang, orang lain tidak bakalan turun tangan membantu kan.
Semoga Bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H