"Saya tuh, kalau sama anak tengah, rasanya lain dibanding dengan kakak atau adiknya," ujar seorang ibu. Saya pernah mendengar kalimat ini, dari seorang ibu wali murid, yang anaknya sekelas dengan anak saya.
Ada rasa tidak setuju, tapi saya tidak tunjukkan. Seketika muncul rasa kasihan di hati, terutama kepada anak yang dinomorduakan oleh ibu ini. Padahal mereka (anak-anaknya), lahir dari rahim yang sama dan menyusu ASI yang sama.
Tetapi dalam perkembangannya, mengapa mereka harus dibedakan. Salah apa mereka, sehingga musti mengalami perbedaan dan diperbandingkan satu dengan lainnya.
Tak dipungkiri dalam keseharian, (kadang) ada orangtua bersikap demikian. Meskipun ada alasan yang mendasari, saya adalah ayah dan orangtua yang tidak sepakat.Â
-----
Kompasianer, terutama yang sudah menjadi orangtua dengan anak lebih dari satu. Pernah nggak, kalian merasakan hal demikian. Bahwa anak yang satu, posisinya lebih istimewa di hati dibandingkan anak yang lainnya.
Sikap demikian muncul dengan sebab dan alasan yang menyertai, dan secara logika sangat diterima akal dan (seolah-olah) memang wajar adanya.
Misalnya, si anak yang lebih disayang karena pengertian dan perhatian kepada orangtua. Tidak mau merepotkan ayah dan ibu, sopan, rajin, dan suka membantu pekerjaan rumah. Sementara anak yang lain, kerap membantah dalam banyak hal, tidak manut kalau dinasihati, suka tidak terima kalau diberi masukan dan seterusnya.
Saya sadar para orangtua juga manusia biasa, maksud hati ingin semua anaknya baik dan mencontoh yang sudah baik. Tetapi kadang kurang paham ilmunya, sehingga salah megambil strategi dan caranya.
Kalau sedang kesal, bisa saja keluar kalimat atau sikap yang (sadar atau tidak) membanding-bandingkan satu dengan lainnya. "Duh, kamu itu kerjaannya bikin susah orangtua, tidak seperti adikmu,"