Sewaktu masih tinggal di rumah kontrakan, ada ibu petugas pembayaran listrik yang akrab dengan istri. Seorang ibu paruh baya, menilik raut dan perawakan, saya tebak umurnya beberapa tahun di atas saya. Tentu saya turut senang dengan keakraban tersebut, kalau ngantor (setidaknya) istri jadi punya teman di rumah.
Kebetulan lokasi loket pembayaran listrik, tidak jauh dari rumah kontrakan jadi sewaktu waktu si ibu mampir. Kadang pas jam  makan siang, datang sekalian membawa makanan sembari ngobrol. Kadang membawa bahan lauk atau sayur mentah, kemudian dimasak dan dimakan bersama istri.Â
Sikap ngopeni juga ditunjukkan, sehingga anak kami (waktu itu sulung kami masih kecil) cepat akrab. Tak enggan membawa atau membelikan mainan arau jajanan, kalau istri tampak repot dan anak nangis langsung digendongnya.
Pernah pada hari ulang tahun kedua si jagoan, sebuah mainan kereta api dijadikan kado (saya tahu, mainan ini harganya mahal). Kedekatan yang tulus, membuat anak kami memanggil bunda dan ditanggapi dengan baik panggilan ini.
Perkiraan saya tentang usia ternyata tidak salah, kata istri bahwa teman akrab ini usianya tiga tahun di atas saya. Dan satu lagi tambahan informasi, kalau si bunda ternyata belum menikah alias masih gadis. Entah apa alasannya istri tidak mau menceritakan, dan saya tak tertarik bertanya lebih lanjut.
Tetapi ada sikap yang membuat kami salut, yaitu usahanya menemukan tambatan hati tak pernah padam. "Bantuin gue dong, kali aja ada temen lu atau temen suami lu yang nyari bini," ujar istri menirukan ucapan kawan karib ini.
Mendengar ulang kisah si ibu, saya salut angkat topi dengan usaha tak kenal lelah, demi bersua belahan jiwa. Pada usia (kala itu) jelang 40 tahun, semangat menemukan laki-laki idaman tak juga padam.
-----
Tahun ketiga tinggal di kontrakan, alhamdulillah kami bisa membeli rumah baru. Rumah idaman meski tak besar, hanya berjarak sekira 2 - 3 KM dari rumah kontrakan. Ketika bersiap pindah, si ibu ringan tangan membantu packing barang. "Jangan lupa ya, kali aja ada yang temen lu atau temen suami lu nyari istri" pesannya diulangi.Â
Saya dan istri tahu dan memahami, di usia yang sudah tidak muda, teman ini kerap memikirkan tentang masa tuanya. Baginya kesendirian tak diinginkan, karena tak ingin selamanya tinggal bersama orangtua yang sudah sepuh.
Sebagai manusia apalah daya, kita tidak punya kekuasaan bahkan terhadap diri sendiri. Kita masih sangat buta, terhadap kejadian yang akan dialami esok, lusa dan lusanya lagi. Pengetahuan kita sangatlah terbatas, bahkan pada kejadian satu dua menit ke depan. Tak elok, apabila kita mudah meremehkan orang dengan patokan saat sekarang.Â
Istilah roda kehidupan terus berputar benar adanya, takdir manusia terus bergerak tidak berhenti di satu titik saja. Pun perihal jodoh, tugas kita manusia sebatas berusaha. Kapan datangnya, dipercepat atau diperlambat atau tidak diperjumpakan di dunia, bukan wewenang manusia sendiri. Ada tangan gaib yang bekerja, lazimnya akan seiring dengan upaya si manusia.
Selepas pindah rumah baru, komunikasi dan interaksi dengan si bunda berkurang drastis. Istri mulai sibuk antar jemput anak yang sekolah TK, sibuk berjualan online dan repot dengan pekerjaan rumah. Hanya sesekali ketemu itupun tidak sengaja, kadang berpapasan di jalan atau tak sengaja ketemu di pasar kaget dan bersapa seperlunya.
Hingga pada minggu pagi sebuah kabar terdengar, seorang duda sepuh (istri meningal dua tahun-an) melamar si bunda. Bapak dengan tiga anak sudah dewasa, dan sudah menjadi kakek dengan dua cucu menyunting ibu penjaga loket. Kami menyambut suka cita kabar ini, dan acara pernikahan berlangsung sangat sederhana, hanya istri yang datang tanpa saya dan anak-anak.
Pernikahan disertai "drama", ketiga anak si bapak tidak ada yang bersedia datang. Sehingga duda sepuh dan si bunda, melenggang tanpa sukacita pihak mempelai lelaki. Apapun yang terjadi, pernikahan tetap dilangsungkan dan dihadiri keluarga pihak perempuan.Â
Tanpa terasa tiga tahun berlalu, pernikahan pasangan suami istri "berumur" telah berjalan. Dan siapa sangka, kini mereka tinggal di rumah yang dulu kami kontrak. Terdengar berita menggembirakan, dua cucu mulai diperbolehkan bertemu dan main ke rumah kakeknya. Sementara tiga anak dan mantu, sesekali tampak datang menjenguk ayahnya.
Jangan Gentar Dibilang Telat Menikah, yang Penting..
Setiap malam minggu, ada satu hastag kerap muncul di twitter yaitu #malmingjomblo atau #malamminggu atau #jomblo atau hastag sejenisnya. Saya senyum-senyum sendiri, membaca cuitan berseliweran di time line. Warga twitland sekira umur direntang duapuluhan, atau bisa jadi masih di awal tigapuluhan, mengungkapkan kegalauannya di lini masa. Saya turut dalam keriuahan, dengan meretwet dan menyematkan imoji tertawa atau sedih menyesuaikan isi cuitan.
Saya memetik hikmah, bahwa seterjal menempuh jalan menjemput belahan hati, kuncinya satu yaitu jangan pernah berhenti berharap (tentunya dibarengi usaha). Karena hanya harapan, yang bisa memantik api semangat berjuang meraih impian.
Bunda sahabat istri adalah contoh, di usia yang tidak muda dan sebagian orang seusianya mungkin tak ingin menikah. Tetapi dia geming dengan harapan, hingga dipersuakan dengan sang kakek dua cucu. So, tak perlu berkecil hati  bagi yang belum bersua jodoh.
Biar saja dibilang telat menikah, yang penting jangan pernah berhenti berharap. - Semoga Bermanfaat-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H