Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dilema Sekolah Unggulan antara Gengsi dan Prestasi

29 Oktober 2019   16:39 Diperbarui: 29 Oktober 2019   21:35 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orangtua, yang anaknya mendapat beasiswa masih merasa berat. Apalagi yang masuk dengan jalur biasa, dan membayar biaya sekolah secara full. Tapi saya yakin, setiap orangtua pasti sudah mengukur kemampuan, sehingga bersedia menyekolahkan anak ke sekolah favorit.

Dilema antara Gengsi dan Kualitas di Sekolah Unggulan

Sebenarnya sangat mungkin, masalah gengsi bisa terjadi di semua sekolah (unggulan atau tidak). Di sekolah manapun sangat bisa, meski mungkin kadarnya yang berbeda tergantung bagaimana setiap orang menyikapi. Bedanya di sekolah unggulan, orang terlanjur memberi label tentang kualitas. Sehingga secara langsung maupun tidak, otomatis mendongkrak gengsi pada sikap orang yang berada di lingkungan tersebut.

dokpri
dokpri
dokpri
dokpri
Sekolah berkualitas (sekolah biasa juga), membutuhkan kegiatan guna mendukung agar kualitas tetap terjaga. Resikonya banyak aktivitas sekolah diadakan, kemudian (mau tak mau) membutuhkan biaya ekstra. Komite orangtua siswa diadakan, biasanya ingin memberikan yang terbaik. Nah pada kondisi inilah kadang muncul “persaingan” ide. 

Tumbuh keinginan menampilkan diri lebih tinggi dibanding yang lain, yang kadang justru melenceng dari substansi. Alasan dikemukakan bisa subyektif, namun alasan disodorkan adalah demi menjaga nama baik sekolah atau demi kualitas.

Misalnya, untuk acara dadakan seperti baksos. Sebenarnya anak-anak sudah cukup memakai seragam kaos olahraga, tetapi tiba-tiba ada yang usul membuat kaos baru dengan tulisan dan logo kegiatan sedang berlangsung. Kaos hanya sekali pakai, untuk pengadaan dan sablon musti mengeluarkan biaya tambahan.

Misalnya lagi, ada wali murid yang berinisiatif mengadakan arisan. Tujuan awalnya jelas, agar saling akrab dan mendekatkan diri antar orangtua. Pada prakteknya beda, arisan menjadi ajang unjuk diri. Sehingga uasana menjadi tidak nyaman, menimbulkan gab atau memunculkan kubu ....

Duh, biaya di luar yang iuran resmi, ternyata jauh lebih banyak” ujar orangtua yang kami kenal.

Sebenarnya bisa saja, orangtua berinisiatif menarik diri dari kegiaatan yang tidak substantif. Tetapi musti siap dengan reiiko, akan dijauhi atau dikucilkan karena pikiran tak sejalan. Semua terpulang pada diri sendiri, bahwa setiap pilihan sikap selalu dibarengi konsekuensi.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun