Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dilema Sekolah Unggulan antara Gengsi dan Prestasi

29 Oktober 2019   16:39 Diperbarui: 29 Oktober 2019   21:35 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Orangtua mana yang tidak ingin, anaknya bisa menuntut ilmu di sekolah favorit (baik negeri atau swasta). Hal ini sangat wajar, lazimnya sekolah favorit selain terjamin kualitasnya, juga dipandang tidak main-main oleh khalayak umum. 

Tak heran, apabila peminat sekolah favorit selalu membludak. Meski biaya pendaftaran dinaikkan, tetap saja saban tahun terjadi peningkatan pendaftar, bahkan sampai berebut kursi. Tak dipungkiri, terselip rasa bangga apabila menjadi bagian dari sekolah unggulan.

Dua tahun silam, di bulan Desember saya dan istri sudah berburu beberapa sekolah untuk anak lanang. Pertama kami lakukan adalah mencari informasi, tentang beberapa nama sekolah yang kerap dijadikan bahan perbincangan para wali murid. 

Mengerucut pada beberapa nama (kami anggap) sekolah favorit, karena bisa dilihat dan ditelusuri rekam jejaknya. Misalnya dari prestasi sekolah yang bersangkutan, kemudian lulusannya yang terbukti diterima di sekolah favorit jenjang lebih atas.

Dan memang benar, ongkos bersekolah di sekolah favorit memang tidak murah. Saya jadi ingat hukum ekonomi, semakin banyak peminat harga juga meningkat. Pendek kata, kalau satu orang tidak mau masih banyak orang lain yang mau dan mengantre. 

Atas beberapa pertimbangan dan kesepakatan, kami memilih pesantren untuk melanjutkan sekolah. Kebetulan dari jauh hari, anak berniat mendalami ilmu agama dan si ayah mendukung.

Sementara tujuan awal survei ke beberapa sekolah, untuk mencari second opinion sekalian perbandingan. Tetapi selain sekolah umum, beberapa Pondok Pesantren saya datangi bahkan yang di luar kota sekali pun.

dokpri
dokpri
---------

Semasa di sekolah dasar, kami para orangtua murid relatif akrab satu dengan lainnya. Saking akrabnya, kami tahu dan kenal baik dengan sahabat anak kami. Kami orangtua (terutama istri) juga kerap japrian apabila ada perlu ini dan itu. Bahkan saling berkunjung, kalau pengin kumpul atau ada waktu senggang.

Meskipun selepas SD anak-anak tidak satu sekolah, para ibu masih sering ketemu dan mengadakan arisan. Arisan sebenarnya alasan saja, agar tetap bisa bertemu dan menjalin komunikasi. 

Ada satu orangtua dari sahabat anak, yang anaknya ke sekolah favorit di daerah kami. Si anak punya prestasi di bidang olahraga, sehingga mendapat beasiswa untuk SPP (sementara kegiatan sekolah lainya tetap membayar).

dokpri
dokpri
"Wah, enak si kakak sudah gak perlu bayar uang bulanan lagi," celetuk istri
"Memang sih SPP tidak bayar, tetapi biaya kegiatan di luar SPP ternyata juga banyak," balasnya.

Orangtua, yang anaknya mendapat beasiswa masih merasa berat. Apalagi yang masuk dengan jalur biasa, dan membayar biaya sekolah secara full. Tapi saya yakin, setiap orangtua pasti sudah mengukur kemampuan, sehingga bersedia menyekolahkan anak ke sekolah favorit.

Dilema antara Gengsi dan Kualitas di Sekolah Unggulan

Sebenarnya sangat mungkin, masalah gengsi bisa terjadi di semua sekolah (unggulan atau tidak). Di sekolah manapun sangat bisa, meski mungkin kadarnya yang berbeda tergantung bagaimana setiap orang menyikapi. Bedanya di sekolah unggulan, orang terlanjur memberi label tentang kualitas. Sehingga secara langsung maupun tidak, otomatis mendongkrak gengsi pada sikap orang yang berada di lingkungan tersebut.

dokpri
dokpri
dokpri
dokpri
Sekolah berkualitas (sekolah biasa juga), membutuhkan kegiatan guna mendukung agar kualitas tetap terjaga. Resikonya banyak aktivitas sekolah diadakan, kemudian (mau tak mau) membutuhkan biaya ekstra. Komite orangtua siswa diadakan, biasanya ingin memberikan yang terbaik. Nah pada kondisi inilah kadang muncul “persaingan” ide. 

Tumbuh keinginan menampilkan diri lebih tinggi dibanding yang lain, yang kadang justru melenceng dari substansi. Alasan dikemukakan bisa subyektif, namun alasan disodorkan adalah demi menjaga nama baik sekolah atau demi kualitas.

Misalnya, untuk acara dadakan seperti baksos. Sebenarnya anak-anak sudah cukup memakai seragam kaos olahraga, tetapi tiba-tiba ada yang usul membuat kaos baru dengan tulisan dan logo kegiatan sedang berlangsung. Kaos hanya sekali pakai, untuk pengadaan dan sablon musti mengeluarkan biaya tambahan.

Misalnya lagi, ada wali murid yang berinisiatif mengadakan arisan. Tujuan awalnya jelas, agar saling akrab dan mendekatkan diri antar orangtua. Pada prakteknya beda, arisan menjadi ajang unjuk diri. Sehingga uasana menjadi tidak nyaman, menimbulkan gab atau memunculkan kubu ....

Duh, biaya di luar yang iuran resmi, ternyata jauh lebih banyak” ujar orangtua yang kami kenal.

Sebenarnya bisa saja, orangtua berinisiatif menarik diri dari kegiaatan yang tidak substantif. Tetapi musti siap dengan reiiko, akan dijauhi atau dikucilkan karena pikiran tak sejalan. Semua terpulang pada diri sendiri, bahwa setiap pilihan sikap selalu dibarengi konsekuensi.

Semoga bermanfaat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun