Orangtua mana yang tidak ingin, anaknya bisa menuntut ilmu di sekolah favorit (baik negeri atau swasta). Hal ini sangat wajar, lazimnya sekolah favorit selain terjamin kualitasnya, juga dipandang tidak main-main oleh khalayak umum.Â
Tak heran, apabila peminat sekolah favorit selalu membludak. Meski biaya pendaftaran dinaikkan, tetap saja saban tahun terjadi peningkatan pendaftar, bahkan sampai berebut kursi. Tak dipungkiri, terselip rasa bangga apabila menjadi bagian dari sekolah unggulan.
Dua tahun silam, di bulan Desember saya dan istri sudah berburu beberapa sekolah untuk anak lanang. Pertama kami lakukan adalah mencari informasi, tentang beberapa nama sekolah yang kerap dijadikan bahan perbincangan para wali murid.Â
Mengerucut pada beberapa nama (kami anggap) sekolah favorit, karena bisa dilihat dan ditelusuri rekam jejaknya. Misalnya dari prestasi sekolah yang bersangkutan, kemudian lulusannya yang terbukti diterima di sekolah favorit jenjang lebih atas.
Dan memang benar, ongkos bersekolah di sekolah favorit memang tidak murah. Saya jadi ingat hukum ekonomi, semakin banyak peminat harga juga meningkat. Pendek kata, kalau satu orang tidak mau masih banyak orang lain yang mau dan mengantre.Â
Atas beberapa pertimbangan dan kesepakatan, kami memilih pesantren untuk melanjutkan sekolah. Kebetulan dari jauh hari, anak berniat mendalami ilmu agama dan si ayah mendukung.
Sementara tujuan awal survei ke beberapa sekolah, untuk mencari second opinion sekalian perbandingan. Tetapi selain sekolah umum, beberapa Pondok Pesantren saya datangi bahkan yang di luar kota sekali pun.
Semasa di sekolah dasar, kami para orangtua murid relatif akrab satu dengan lainnya. Saking akrabnya, kami tahu dan kenal baik dengan sahabat anak kami. Kami orangtua (terutama istri) juga kerap japrian apabila ada perlu ini dan itu. Bahkan saling berkunjung, kalau pengin kumpul atau ada waktu senggang.
Meskipun selepas SD anak-anak tidak satu sekolah, para ibu masih sering ketemu dan mengadakan arisan. Arisan sebenarnya alasan saja, agar tetap bisa bertemu dan menjalin komunikasi.Â
Ada satu orangtua dari sahabat anak, yang anaknya ke sekolah favorit di daerah kami. Si anak punya prestasi di bidang olahraga, sehingga mendapat beasiswa untuk SPP (sementara kegiatan sekolah lainya tetap membayar).
"Memang sih SPP tidak bayar, tetapi biaya kegiatan di luar SPP ternyata juga banyak," balasnya.