Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nikmati dan Syukuri Kebersamaan, Sebelum Merasakan Pedihnya Kehilangan

19 Oktober 2019   11:23 Diperbarui: 19 Oktober 2019   11:40 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompasianers, yang pernah ditinggal  (karena meninggal) orang dikasihi, saya yakin pasti pernah mengalami, bagaimana pedihnya kehilangan. Perasaan duka yang sangat sangat mendalam, bahkan melebihi duka yang pernah dialami dan dirasakan.

Saya pernah dua kali mengalami, yaitu ketika ayahanda meninggal belasan tahun silama. Kemudian belum lama rasa duka kembali menghampiri, yaitu ketika ibu mertua berpulang ke Rahmatullah.

Dengan ayah kandung, tentu banyak kenangan tersimpan di benak, terutama ketika saya masih belia. Ayah dengan segala kesederhanaannya, sampai kapanpun tak akan terlupa jasa-jasanya.  Sementara dengan ibu mertua, beliau adalah orang yang palng banyak berjasa. Ketika si anak mantu ini baru merangkak, membina rumah tangga putri bungsunya.

"Duh, sedihnya benar benar, sampai garis batas" ujar seorang teman, yang pernah merasakan ditinggal buah hati yang masih kecil.  Saya tak menyangkal kalimat teman ini, karena memang begitu kenyataan dialami.

Belajar dari pengalaman, saya sangat meyakini satu hal. Bahwa di setiap kejadian selalu ada hikmah tersampaikan,  dan bahwa hikmah itu tidak ada maksud lain, kecuali untuk kebaikan manusia itu sendiri (apabila kita mau memetiknya).

Hikmah dari kehilangan, adalah kesempatan saya belajar berempati dan turut merasakan, betapa sangat berharganya kebersamaan. Setiap persuaan, dengan saudara, kerabat, sahabat, teman, apalagi dengan orangtua, belahan jiwa dan buah hati, mustilah dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Pada benak dan kalbu orang orang dikenal, kelak kita akan dikenang dan atau juga kita yang mengenang. Tentang kejadian apapun, yang pernah dilewati dan dialami bersama, Maka alangkah indahnya, apabila kenangan yang baik yang menjadi simpanan itu.

------

dokpri
dokpri

Siang yang terik itu mendadak sendu, ketika saya bersama dua kakak ipar turun dan masuk ke liang lahat. Kami bertiga siap menerima jasad ibu, yang hendak dikebumikan di tanah pemakaman. Dulu, ketika ayahanda meninggal, saya tak keburu hadir di pemakanan karena sedang di perjalanan dari luar kota.

Hari itu, kali pertama saya merasakan, sebegitu campur aduk perasaan ini. Menerima jasad, orang dihormati dan disayangi, kemudian membenamkan dengan tanah liat. "Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un -- sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya- lah kami kembali." Ayah mertua, tujuh anak kandung bersama anak mantu, cucu-cucu, kerabat, tetangga hadir di menjadi saksi pemakaman.

Kelopak bunga kamboja gugur, berbaur mawar melati setaman sedang ditabur. Semuanya yang hadir tertunduk pilu, meski di benak ini justru ada yang sedang bertumbuh. Yaitu kenangan pernah dilalui bersama, bahkan sekecil apapun mendesak muncul.

dokpri
dokpri

-----

"Ibu, ikut sama anaknya saja, kalau dia mau ibu ya setuju," ujar perempuan usia lima puluhan tahun, dengan nada suara tenang.  Butuh usaha dan kekuatan ekstra, untuk berani mengungkapkan maksud hati ini. Seumur-umur, baru sekali saya merasakan kebulatan tekad sesempurna ini.

Setelah percakapan serius malam itu, kejadian demi kejadian bertautan dengan cepatnya dari waktu ke waktu. Tak lama selepas itu, saya mengajak ayah dan ibu datang dari kampung, bertemu dan berkenalan dengan calon besan dan calon mantu. 

Kemudian obrolan antar orangtua semakin serius, tiba tiba sampai pada hari lamaran, disusul ijab kabul yang mendebarkan dan mengharukan kemudian resepsi pernikahan.

Sebagai perantau, ayah dan ibu mertua sudah saya anggap seperti orangtua kandung. Di awal menikah kami ngontrak, kebetulan tidak terlalu jauh jadi setiap saat bisa jalan sebentar ke rumah orangtua. 

Kalau malam minggu, keluarga baru punya jadwal rutin menginap di rumah mertua. Ibu mertua adalah orang yang kerap menyediakan diri, untuk direpoti akan banyak hal. 

Kalau sedang masak besar, kami anaknya selalu dikabari (bahakan memaksa) agar segera datang ke rumah. Pun kalau beliau pulang dari bepergian, tak lupa oleh-oleh dibawakan untuk anak dan cucunya.

dokpri
dokpri

Tanpa terasa, panjang sudah waktu dilalui bersama. Sampai anak saya yang besar menuntut ilmu, kini berpisah jarak karena tak tinggal di rumah. Adiknya juga beranjak besar, sudah malu dan risih kalau si ayah hendak menggendong atau mencium.

Setiap kebersamaan (dengan siapapun) akan berubah menjadi kenangan, tinggal kita yang memutuskan, akan mengisi dan atau membuat kenangan itu menjadi seperti apa. Cepat atau lambat, kebersamaan itu akan sampai di garis akhir, lagi-lagi kita yang akan berhak memutuskan, hikmah seperti apa akan dipetik.

Kompasianers, yang ayah dan ibu masih sehat, yang belahan jiwa dan buah hati masih sehat. Yang saudara kandung atau ipar, yang kerabatnya masih bisa berkumpul meski berkala. 

Yang sahabat dan teman masih bisa berusa, sungguh jangan sia-siakan anugerah istimewa ini. Nikmati dan syukuri setiap kebersamaan, sebelum kelak tiba waktu untuk merasakan kehilangan.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun