Kelopak bunga kamboja gugur, berbaur mawar melati setaman sedang ditabur. Semuanya yang hadir tertunduk pilu, meski di benak ini justru ada yang sedang bertumbuh. Yaitu kenangan pernah dilalui bersama, bahkan sekecil apapun mendesak muncul.
-----
"Ibu, ikut sama anaknya saja, kalau dia mau ibu ya setuju," ujar perempuan usia lima puluhan tahun, dengan nada suara tenang. Â Butuh usaha dan kekuatan ekstra, untuk berani mengungkapkan maksud hati ini. Seumur-umur, baru sekali saya merasakan kebulatan tekad sesempurna ini.
Setelah percakapan serius malam itu, kejadian demi kejadian bertautan dengan cepatnya dari waktu ke waktu. Tak lama selepas itu, saya mengajak ayah dan ibu datang dari kampung, bertemu dan berkenalan dengan calon besan dan calon mantu.Â
Kemudian obrolan antar orangtua semakin serius, tiba tiba sampai pada hari lamaran, disusul ijab kabul yang mendebarkan dan mengharukan kemudian resepsi pernikahan.
Sebagai perantau, ayah dan ibu mertua sudah saya anggap seperti orangtua kandung. Di awal menikah kami ngontrak, kebetulan tidak terlalu jauh jadi setiap saat bisa jalan sebentar ke rumah orangtua.Â
Kalau malam minggu, keluarga baru punya jadwal rutin menginap di rumah mertua. Ibu mertua adalah orang yang kerap menyediakan diri, untuk direpoti akan banyak hal.Â
Kalau sedang masak besar, kami anaknya selalu dikabari (bahakan memaksa) agar segera datang ke rumah. Pun kalau beliau pulang dari bepergian, tak lupa oleh-oleh dibawakan untuk anak dan cucunya.
Tanpa terasa, panjang sudah waktu dilalui bersama. Sampai anak saya yang besar menuntut ilmu, kini berpisah jarak karena tak tinggal di rumah. Adiknya juga beranjak besar, sudah malu dan risih kalau si ayah hendak menggendong atau mencium.