Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Jangan Abai pada Kemungkinan Depresi Pasca-Melahirkan

12 Oktober 2019   08:25 Diperbarui: 12 Oktober 2019   14:08 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kondisi depresi bisa terjadi pada siapa saja, termasuk orang yang belajar tentang psikologi, tidak terlepas dari masalah kejiwaan" Dr. Indria Laksmi Gamayanti, M.Si,. Ketua Umum Ikatan Psikolog Klinis

Beberapa hari lalu, saya berkesempatan hadir pada peringatan "Hari kesehatan Jiwa Sedunia 2019", di kantor Kementrian Kesehatan RI. Tema peringatan tahun ini, "Mental Health Promotion and Suicide Prevention." Banyak pengetahuan baru saya dapati, termasuk tentang kondisi ibu pasca melahirkan yang kurang minat terhadap bayinya.

Jujur, sebagai ayah saya sempat kaget. Ternyata ada kondisi yang sepertinya baik-baik, tetapi si ibu enggan menyentuh bayi yang baru dilahirkan dari rahim sendiri. Padahal ada suami yang mendampingi, ada orangtua yang juga siap membantu.

"Kok ada ya?," bisik batin ini setengah protes.

Namun, acara ini membuka ruang baru di benak ini, betapa penting kita semua untuk Sadar Kesehatan Mental.

Kecemasan Pada Ibu Hamil

Banyak faktor penyebab depresi, bisa diawali dengan gangguan fisik, bisa dari rasa cemas yang berlebihan, perasaan terasing dari lingkungan sosial dan lain sebagainya.

Sementara depresi pada ibu pascamelahirkan, bisa dipicu dari kondisi selama masa kehamilan. 

Seorang ibu yang punya keinginan membuang bayinya, bisa jadi karena telah memendam kecemasan saat janin masih ada di rahim.

Kemudian setelah bayinya lahir, ternyata kondisi tidak ideal dialami si ibu.

Mungkin pernah kita baca berita, ibu yang membuang bayi karena hamil di luar nikah. Ada juga alasan, karena laki-laki tidak bertangung jawab itu (yang menghamili) menghilang bak ditelan bumi. 

Tetapi ada yang secara kasat mata, sepertinya semua berjalan normal dan baik- baik saja, tetapi justru perasaan tidak nyaman ibu terhadap bayinya tetap saja hadir.

Novy Yulianty-dokpri
Novy Yulianty-dokpri

Saya mendengarkan kisah penuh inspiratif, dari Novy Yulianti founder Motherhope Indonesia, yang dulu pernah mengalami depresi pascamelahirkan.

Periode 2012-2015, menjadi tiga tahun yang berat buat Ibu Novi, karena dia sempat kehilangan minat terhadap bayinya. Pernah punya keinginan membuang bayi sendiri, dan saban hari melempar bayi (untungnya di atas kasur).

Saya, ayah awam yang sayang pada anak istri, ingin sekali mengetahui penyebab hingga terjadi hal seperti ini.

Ya, hal ini dimulai dari rasa cemas selama masa kehamilan, kemudian rasa cemas berlanjut pasca melahirkan.

Melahirkan dengan operasi caesar, membuat ibu Novi merasa tidak bisa menjadi ibu yang seutuhnya. Keadaan pascaoperasi, tidak memungkinkan untuk si ibu bisa menggendong anak sendiri.

Ditambah lagi situasi tidak mengenakkan, ternyata mendapati ASI tidak keluar, sehingga tidak bisa menyusui. 

Keadaan semakin parah, ketika mendengar komentar (baik sengaja atau tidak) dari orang atau kenalan atau teman yang bertemu dan mempermasalahkan kondisi tidak ideal tersebut (misalnya masalah ASI).

"Salah saya, saat itu saya menutup diri" ujar Ibu Novy.

Karena tidak mau berbagi cerita, maka suami sama sekali tidak mengetahui hal ini. Semua di permukaan terlihat wajar dan berjalan dengan baik- baik saja, padahal menyimpan pedang yang siap melukai.

Untuk menghidari hal tidak diinginkan, Ibu paruh baya ini selalu menghindari pergi hanya berdua dengan sang anak. Khawatir, niat membuang anak muncul saat hanya berdua saja.

----

Menurut Dr. Indria Laksmi Gamayanti, M.Si,. Ketua Umum Ikatan Psikolog Klinis, Depresi bisa terjadi pada siapa saja, termasuk orang yang belajar tentang psikologi.

Psikolog pun, tidak terlepas dari masalah kejiwaan. Hampir 800 orang/tahun meninggal karena bunuh diri, dan dari satu kematian terjadi karena bunuh diri terdapat 20 percobaan bunuh diri yang tidak terdata.

Dr.Gamayanti- dokpri
Dr.Gamayanti- dokpri
Yang berisiko bunuh diri, adalah mereka yang mempunyai ganguan kejiwaan berat terutama depresi. Dalam proses perkembangan, ada yang mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk (emosisonal fisik, seksual, bullying). 

Depresi juga dipicu oleh trauma, karena adanya diskriminasi sosial, sehingga membuat orang merasa sendiri atau disingkirkan dari lingkungan pergaulan. Cerita atau tulisan yang tidak tepat, misalnya Harakiri yang dianggap perbuatan ksatria, bisa menjadi faktor yang menyebabkan ide bunuh diri muncul.

"Adanya tanda tanda, tidak berarti pasti bunuh diri, tapi harus direspon dengan serius," tegas Dr. Gamayanti.

Nah, untuk mencegah depresi yang berujung bunuh diri, dibutuhkan dukungan sosial, berupa rangkulan orang sekeliling, perlakuan yang baik dan tidak membedakan. Khusus kecemasan pada ibu hamil, perlu diperiksa kondisi psikisnya, jadi jangan periksa fisik dan janin saja. 

Setiap anggota keluarga, musti memperhatikan aspek kesehatan. Jangan ragu meminta bantuan jangan takut dianggap berbeda.

Dan kita sebagai individu dalam masyarakat, jangan menganggap remeh ketika orang lain mengeluh akan hal yang tidak membuat nyaman. 

Sediakan waktu dan perhatian, untuk mendengarkan teman yang sedang ingin curhat. Kebanyakan, orang curhat hanya pengin ada yang mendengarkan.

---

Ibu Novy, menginisiasi Motherhope, untuk memperjuangkan agar tidak ada stigma negatif pada orang depresi. Merangkut dan mengedukasi ibu pasca melahirkan, agar bisa berbagi masalah yang dialami.

Kecemasan ibu Novy sendiri bisa terurai, setelah bisa menumpahkan uneg-unegnya. Ketika anaknya usia 2,5 tahun, si ibu baru tahu rasanya bahwa punya anak itu membahagiakan.

Semoga bermanfaat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun