"mungkin, ini balasan Gusti Alloh, atas jerih payah mulai aku kecil dulu" ucapnya ibu sepuh lirih. Semasa gadis, perempuan berpendidikan rendah rela berkorban demi adik-adiknya, mengikuti kemauan orangtua berjibaku dengan pekerjaan rumah tangga.
Pun CT, dengan segala ketekunan dan kerja keras, semasa ngampus di UI Salemba, merintis usaha dari menjadi tukang fotocopy, demi melepaskan diri dari jerat kemiskinan yang dialami orangtuanya.
Lagi-lagi saya menegaskan, keduanya memang tidak sebanding. Tetapi semangat disandang keduanya, memiliki pijakan yang tidak jauh berbeda, yaitu berupaya keras tekun dan tanpa pamrih (dengan kadar yang berbeda tentunya).
--------
Saat ini kita berada di usia produktif, ibarat sedang ada di tengah- tengah medan pertempuran. Kepala terpanggang matahari, keringat mengucur dari pori, telapak kaki menapak panas bumi. Kita semua sedang mengerahkan segenap saya, memeras otak dan tenaga demi orang-orang dikasihi.
Mungkin saja, saat ini kita sedang kepayahan mengais rejeki, untuk melunasi biayai sekolah anak, untuk memberi jatah belanja bulanan istri, membayar iuran listrik dan iuran keamanan lingkungan RT, menyetor cicilan rumah dan kendaraan.
Maka mari kita utuhkan ikhtiar, dengan batin yang teguh dan senyum di bibir, mari menyertakan ketulusan, kesungguhan, menggenapkan ketekunan dengan kepasrahan. Mari meyakini, bahwa apa yang tengah kita lakukan saat ini, sejatinya sedang menebus masa mendatang dengan harga saat ini.
Semoga, di hari mendatang, kita menjumpai diri sendiri pada ruang dan waktu yang tidak disangka (seperti ibu sepuh). Smoga setiap penyempurnaan ikhtiar, mengantarkan pemahaman baru kepada orang terkasih akan ketulusan ayah.
Tak usah risau dengan hasil, karena kehidupan punya mekanisme (diawal saya memakai istilah algoritma) tersendiri dan mari meyakini bahwa itu sungguh adil. Sekali lagi, mari para ayah membeli masa depan dengan harga hari ini.