Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bayarlah Masa Depan dengan (Harga) Hari Ini!

8 September 2019   06:18 Diperbarui: 8 September 2019   23:31 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
si ibu di depan Masjid Nabawi- koleksi pribadi

koleksi pribadi
koleksi pribadi
Keteguhan memperjuangkan anak-anaknya sekolah tinggi, ternyata sebagai ajang balas dendam, atas keinginan melanjutkan sekolah ditentang ayahnya. Sebagai anak tertua, dirinya punya tanggung jawab mengasuh adik-adik masih kecil, membantu pekerjaan orang tua di sawah. 

Keinginan bersekolah disimpan dalam benak, setelah tahu dirinya hendak dijodohkan dengan pilihan orangtua, kemudian perjalanan menuntunya menjadi pedagang kecil di pasar kampung.

Seperti bara dalam sekam, setelah menikah dan lahir buah hati lahir, keinginan lama si ibu kembali bertumbuh. Cita-cita menuntut ilmu dimiliki,  akan diestafetkan kepada anak-anaknya. Meski untuk keinginan tersebut, badai dan rintangan harus dia hadapi.

Tetapi tak surut langkah ke belakang, apabila itu menyangkut sekolah atau pendidikan anak-anaknya, dirinya siap pasang badan.  "Biar aku saja yang bodoh,tapi  anak-anakku jangan seperti ibunya" ujarnya satu waktu.

Buah pengorbanan tanpa pamrih, sepeninggal suaminya, ibu sepuh mendapat anugerah menjejakkan kaki di kota suci Mekkah dan Madinah. Hari itu, sembari memandangi Kabah, bibirnya geming tak jeda merapal doa dan mengucap syukur.

si ibu di depan Masjid Nabawi- koleksi pribadi
si ibu di depan Masjid Nabawi- koleksi pribadi
"Seumur hidup aku nggak bakal lupa," matanya berkaca-kaca ketika mengisahkan ulang pengalaman berharga.  Perjalanan berhaji sangat berkesan, dirinya merasa tidak bakal mengulang kisah serupa sepanjang hidupnya.  

Kisah CT dan sang ibu, mungkin bukan kisah yang sepadan, dan saya tidak sedang menyepadankan. CT seorang pengusaha sukses dan materi sudah bukan masalah penting, sementara ibu sepuh hanya punya tenaga kecil dengan kekuatan keuangan yang kecil juga.

Namun, saya menemukan benang merah sama, tentang semangat bekerja keras tanpa pamrih. CT bekarja dengan manajemen dan perencanaan matang, dan si ibu minim pengetahuan, banting tulang mengupayakan buat anak dicintai. 

Keduanya memiliki ketekunan yang sama (dengan versi berbeda), dan keduanya telah membayar masa depan dengan harga hari ini (maksudnya saat sedang merintis)

Membayar Masa Depan dengan Hari ini

Mendengar, menyimak, menyelami cerita ibu sepuh di tanah suci, membaca, mencerna dan meresapi setiap kata di bab demi bab di buku biografi CT, kemudian mengkaji dan belajar dari tausiyah di majelis taklim, saya tercerahkan dan meyakini tentang algoritma kehidupan. 

Bahwa yang diupayakan setiap orang, bahwa yang dikerjakan, yang dibatin, diucapkan, diniatkan, diperjuangkan, telah disediakan balasan oleh kehidupan. Dunia fana memiliki hitungan hitungan, setiap orang mendapat hitungan sesuai kualitas upaya telah dikerahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun