Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tiga Fakta Mematahkan Asumsi bahwa Anak Ragil Itu Manja

30 Agustus 2019   05:59 Diperbarui: 25 Juni 2021   10:01 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jadi anak ragil sih enak, semua perhatian tertuju padanya" , "Anak bungsu mah enak, biasanya digandoli ibu biar nggak kemana-mana.", "anak paling kecil, anak paling dimanja"

Kita lahir tidak bisa memilih, untuk dilahirkan di keluarga mana dan menjadi anak urutan yang ke berapa. Suratan takdir menggariskan, mau jadi anak sulung, tengah,  ragil, anak tunggal atau anak angkat tidak ada beda. Masalahnya hanya sekedar urutan anak, (menurut saya) tidak bisa dijadikan paramater sikap dan kecenderungan perilaku seorang anak.

Bahwa menjadi anak sulung, akan menjadi tulang punggung keluarga, kemudian mengorbankan dirinya (terpaksa) menikah terlambat, karena ingin adik-adiknya 'mentas' lebih dulu. Bisa jadi ada mbarep yang mengalami hal demikian, meski hal yang sama (sebenarnya) tidak berlaku pada semua anak tertua.

Pun stigma tentang anak ragil yang dianggap manja atau anak mama, karena sebagai yang paling paling kecil semua perhatian tertuju kepadanya. Bahwa anak ragil anak paling disayang orangtua, kerap mendapat pembelaan atau perlindungan kalau digoda kakak-kakaknya.

Mungkin saja benar ada yang seperti itu, tetapi (percayalah) di kehidupan nyata, tidak semua anak bungsu selalu mendapat perlakuan seperti dibayangkan.

Baca juga: Dari Kacamata Si Bungsu yang Tak Kenal Sibling Rivalry

Ada lho, justru yang berlaku kebalikan, mendapati anak sulung yang punya tabiat seperti anak ragil dan justru si anak ragil lebih arif dan dewasa. Memang semua kondisi tidak berlaku umum, karena setiap keluarga memiliki budaya dan kebiasaan sendiri-sendiri.

----

illustrasi- kolrksi pribadi
illustrasi- kolrksi pribadi
Saya bungsu enam bersaudara, kondisi ekonomi orangtua yang pas pas-an, menihilkan kesempatan mendapat perlakuan istimewa atau dimanja. Ketika para kakak sudah lepas dari rumah (ada yang kerja, ada yang kuliah), saya masih SMA di rumah dan ayah mulai pensiun sebagai guru. Karena hanya sendiri di rumah, maka saya mengambil peran, untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah yang dulunya dilakukan oleh kakak- kakak.

Pagi selepas sholat subuh, saya terbiasa membantu ibu beres-beres rumah, tugas utama adalah menyapu dan seminggu sekali mengepel. Kalau hari libur, membantu ibu berjualan di warung yang ada di pasar kampung.

Pun kalau ada genteng bocor, saya tidak bisa tinggal diam, mendapat tugas membantu ayah mengganti genteng sebelum hujan turun. Atau kalau ada kerja bakti RT, sebagai anak laki-laki yang sudah besar, saya turut serta meskipun ayah juga tampak hadir.

Menjadi anak ragil memang tidak selalu indah (baca dimanja), tetapi ketidak enakan dialami ternyata membawa dampak baik kalau dilihat dari sudut pandang baik pula. Kalau ada istilah, sepuluh telor akan punya bentuk dan warna berbeda meskipun keluar dari perut ayam yang sama. Hal yang sama, berlaku pada orangtua dengan banyak anak, meski dari rahim yang sama perilaku anak pasti berbeda.

Beberapa hal tentang anak ragil saya coba simpulkan, baik dari pengalaman sendiri atau melihat teman yang juga anak ragil. Berikut diantaranya, yang bisa diambil dari sikap anak  ragil.

  • Rasa Empati Terasah

Keluarga di era 80-an ke bawah, banyak anak adalah hal biasa, pepatah 'banyak anak banyak rejeki' masih dipegang dan dianut kala itu. Sampai pemerintah orde baru, mencanangkan dan gencar menyosialisasikan program Keluarga Berencana (KB) dua anak cukup.

Semasa saya kecil, mendapati keluarga dengan lima, enam atau tujuh anak sudah bukan hal aneh. Meskipun akibat kondisi banyak anak inilah, orangtua dituntut bekerja lebih keras dan (biasanya) dituntut prihatin untuk keberlangsungan hidup keluarga.

Tidak jarang, ayah selain punya pekerjaan tetap juga kerja serabutan, kemudian ibu membantu mencari nafkah. Ketika para kakak sudah merantau untuk kuliah, ragil yang masih di rumah akan menjadi saksi perjuangan ayah ibu berjibaku mencari biaya sekolah.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Maka kalau ada kakak sulungg atau tengah yang nakal, suka berbohong soal uang sekolah, biasanya si ragil menjadi orang yang turut geram (meski tidak bisa berbuat banyak). Pasalnya sebagai anak paling kecil, ikut melihat bagaimana ayah dan ibu banting tulang untuk mecari uang. Saya juga menjadi saksi, bagaimana ayah dan ibu pontang panting membayar kuliah para kakak. 

Namu ada hikmah saya dirsakan, sisi baik yang terpetik adalah rasa empati yang bertumbuh. Melihat bagaimana pengorbanan orangtua, saya tidak tega merepotkan ayah dan ibu lebih lama. Ketika masuk dunia kampus, saya menemui beberapa teman (yang juga anak bungsu) memutuskan kuliah sambil bekerja.

Kuliah tanpa minta sepeser uang dari orangtua, adalah bentuk bakti yang muncul tanpa disadari, akibat rasa empati setelah mengetahui sendiri bagaimana kedua orangtua bekerja keras.

Baca juga: Derita Anak Bungsu yang Tak Banyak Orang Tahu

  • Mempunyai Jiwa Mandiri

Orangtua, kalau anak bungsu-nya saja sudah beranjak remaja, bisa dipastikan kakak-kakaknya sudah dewasa, atau beberapa mungkin ada yang berumah tangga. Bungsu yang masih tinggal di rumah, otomatis diberi Job untuk mengantikan tugas kakak, misalnya mewakili orangtua berkegiatan di lingkungan.

Dulu semasa masih SMA, bersama teman seusia saya kerap menjadi seksi repot (atau sinoman) ketika ada tetangga yang mempunyai hajatan. Tugas mengantarkan makanan dan minuman ke tamu, kemudian mengambil piring dan gelas kotor untuk dicuci dengan tangkas dilakukan anak muda.

Seperti saya mention di bagian awal artikel, urusan domestik juga tak lepas dari campur tangan anak ragil. Pernah satu saat angin besar datang dan genteng kami merosot, sebagai anak satu-satunya di rumah, sayalah naik dan membetulkan.

Kebiasaan di rumah terbawa di perantauan, enggan berbagi kisah duka kepada orangtua. Anak ragil yang bersedia menempa diri, akan berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri. Sementara kepada orangtua, cenderung berbagi hal-hal yang menyenangkan.

 

dokpri
dokpri
  • Perhatian Kepada Orangtua

Saya yakin setiap anak, memiliki cara dan bentuk perhatian yang berbeda kepada orangtuanya. Saya pernah menulis (di Kompasiana juga), teman kuliah asal Mojokerto yang sangat sayang kepada ibunya---teman ini anak ragil.

Lagi-lagi, karena menjadi saksi kerja keras ayah ibu, teman yang ada di cerita ini, pernah saya ketemu di Bank,  sedang mengirim uang untuk ibunya. Dari teman lain yang satu kost, saya ketahui bahwa kebiasaan teman yang soleh ini dilakukan sejak bulan pertama bekerja.

koleksi pribadi
koleksi pribadi
Saya tahu dan kenal baik, teman ini bekerja sebagai staf biasa di perusahaan di daerah Bungurasih Surabaya. Gaji diterima tidak seberapa, tetapi perhatian dan rasa sayang, meniadakan alasan untuk tidak memberi (baca mengirim uang) kepada orangtua. Konon setelah berkeluarga, ibu dikasihi diajak tinggal bersama di rumah mungilnya di daerah Sidoarjo.

Baca juga: Ketika Anak Bungsu Dianggap Tak Punya Beban

Apakah ada anak ragil yang manja? Bisa jadi, di tempat lain (kebetulan yang tidak saya jangkau) anak ragil yang manja. Kondisi setiap keluarga tidak sama, menjad penyebab berbedanya perlakuan orangtua terhadap anak.

Bagi semua anak (tak peduli urutan), dari keluarga yang berkecukupan, sangat mungkin mendapat perlakuan berbeda. Punya sikap manja atau tidak, (menurut saya) terkait erat dengan kondisi yang dialami. 

Bagi anak ragil seperti saya, yang berasal dari keluarga pas-pasan, mungkin saja situasi yang sama akan dirasakan. Kemudian  hal ini mendasari pengambilan keputusan, seperti beberapa point saya sebutkan di atas.

Btw, baru ada tiga hal terbersit di benak, bisa saya simpulkan tentang anak ragil. Kalau Kompasianer ada hal lain, atau sekiranya ada hal yang terlewatkan, monggo silakan Kompasianer menuliskan.

Tetapi (saya pikir) mau jadi anak mbarep, anak tengah anak ragil, anak semata wayang atau anak angkat, semua tergantung bagaimana kita menyikapi.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun