Sewaktu bujangan, saya punya kenalan seorang bapak usia di atas 40 tahun, perawakan beliau gempal dengan perut buncit. "Semangat Yaah, adek jadi penjaga gawang" Siang itu, si Bapak kewalahan, menuruti kemauan anaknya yang "memaksa" bermain bola. Si anak bersikeras, harus ayahnya yang main bola dengannya, tidak boleh diganti orang lain.
Namanya anak-anak, sekian tahun berikutnya saya mengalami, jagoan berumur dibawah 10 tahun senang main bola. Tidak hanya di kamar, tapi di ruang tamu, di teras, apalagi di halaman depan, dua kaki kecilnya tak lepas dari benda bulat empuk itu.
Saking senang main bola, uang jajannya rela dikumpulkan demi membeli bola kulit. Beruntung, ketika si ganteng lagi seneng main bola, saya ayahnya masih tigapuluh-an tahun, Â secara fisik tidak gampang kecapekan.
*BalikKeSiBapak
Tidak sampai limabelas menit, si bapak ngos-ngosan dan menyerah, membujuk anaknya agar melanjutkan main bola dengan yang lain. Kedua kaki si ayah seperti tak sanggup, menyangga badan yang gempal tapi empuk itu.
Tanpa pikir panjang, beliau merebahkan diri di lantai, saya dan beberapa teman yang duduk di kursi jadi ancang-ancang melantai juga. "Kalian duduk di situ saja, enggak usah sungkan" ujarnya, membaca keengganan kami.
"Nyesel, kenapa dulu gue nikah telat" gumamnya pelan, tapi saya bisa mendengar
Di Kompasiana, saya pernah menulis, kisah tentang ibu saya yang berubah menjadi orang yang paling "galak." Ketika mendapati saya ragilnya, menjelang umu tigapuluh tahun, tetapi belum ada tanda-tanda menikah.
Dalam berbagai kesempatan bertemu dan ngobrol, selalu saja tema pernikahan menjadi topik utama dan paling hangat. Untung ibu paham, cukup tahu tempat dan situasi. Obrolan (menurut saya) menyebalkan, dibahas ketika kami sedang berdua saja. Begitu  ada saudara lain mendekat, segera berpindah topik pembicaraan.
Pun ketika ada saudara, terkesan "menjatuhkan" saya anaknya, ibu menjadi orang pertama pasang badan, tak rela anaknya dibully.