Mudik lebaran tahun ini, diwarnai pertemuan dengan sanak kerabat, bersua  saudara jauh dan saudara dekat, berjumpa teman semasa kecil, reunian dengan kawan SMP dan SMA.
Setelah sekian lama terpisah jarak dan ruang, aneka peristiwa dialami oleh setiap orang, dan pertemuan dengan teman lama seperti memberi ruang dan jeda untuk berbagi cerita dan mengisahkan pengalaman (baca curhat)
Seorang kawan disela mudik, bercerita 'terpaksa' balik kampung, setelah perantauan panjang yang jatuh dan jatuh lagi, hingga mengibarkan bendera putih (baca menyerah). Pulang dan menetap di kampung halaman, membawa serta istri dan anak yang masih kecil, memang bukan pilihan tepat, tetapi tidak ada alternatif lain.
Kawan ini adalah anak tengah, masih ada saudara lain tetapi kebetulan (termasuk adiknya yang bungsu) sudah berkeluarga dan tinggal terpencar di beberapa kota. Mengetahui anak yang sedang terpuruk, kedua orangtua membuka dua tangan, menyambut kembalinya si anak nelangsa.
Sebulan dua dan tiga bulan, kehidupan berjalan normal seperti biasa, tidak tampak gejolak yang terlalu berarti. Dua orangtua berkegiatan seperti biasa, sedang kawan ini belum punya kegiatan pasti, sementara sang istri membantu pekerjaan di dapur.
Masuk bulan keempat, mulai terjadi kerikil kerikil, konflik kecil bermunculan (terutama) antara ibu dengan anak lelaki dan ibu dengan menantunya berimbas kepada cucu. Sedang si ayah, relatif lebih bisa menahan dan mengontrol emosi, sesekali marah itupun kalau sudah kebangetan.
"Bukannya malas nyari kerja, aku butuh waktu, buat bangkit dan menyemangati diri" bela kawan ini.
"Jangan terlalu lama jugalah, ingat kamu bawa istri dan anak" tangkis saya
Tidak Selamanya Enak Tinggal di Rumah Mertua
Sepanjang mendengar curhatan, sebenarnya justru saya terselip salut pada istri kawan ini. sebagai menantu, ibu yang membawa anak balita (hampir lima tahun) menanggung beban lebih. Musti punya usaha ekstra, agar telinga kebal dengan segala ujaran baik yang menyindir atau terang-terangan, merelakan dirinya disalah-salahkan dan lebih menahan diri untuk tidak membalas.