Pak Usep, mohon maaf sebelumnya, kalau saya belum berbagi bantuan berupa harta benda atau tenaga, bahkan sekedar menengokpun tak juga. Perkenankan, satu keinginan sederhana saya, yaitu menyampaikan sedikit yang pernah saya baca dan ketahui, semoga tulisan  ini bisa menjadi penglipur lara.Â
Meskipun bisa jadi, hal yang hendak saya sampaikan, sebenarnya adalah hal yang sudah bapak ketahui dan jalani lebih dahulu, sekali lagi mohon dibukakan pintu maaf.
Pak Usep, bahwasanya sedih dan senang, adalah dua hal yang kedudukannya sama-sama mulia, ini yang kadang belum banyak kita sadari. Sedih pun senang dibutuhkan oleh manusia, sebagai nutrisi yang menumbuh suburkan kebesaran jiwa.Â
Senang bukan berarti lebih baik, sedih bukan selalu lebih buruk, keduanya punya jatah dan bagian hadir di setiap manusia, berfungsi bagi pembentukan karakter dan pendewasaan kta. Senang yang berlebih cenderung membuat lupa diri, maka sedihlah yang mengingatkan, begitulah hukum kehidupan bekerja.
Teringat perjalanan Rasulullah, yang semasa hidupnya menemui onak duri dan cobaan bertubi-tubi, namun beliau memilih hidup dalam kesederhanaan. Semasa kecil menjadi yatim piatu, diasuh sang kakek yang dicintai tapi hanya sebentar, kemudian ikut pamanda berdagang melintasi terik menjelajah gurun Sahara.
Masa muda Rasulullah, bekerja untuk saudagar kaya raya Siti Khadijah, yang kelak menjadi istri paling dikasihi mendampingi dalam kedukaan panjang. Setelah diangkat menjadi Rasul dan pemimpin negeri, masa sulit dan pahit kenabian dilalui penuh tantangan dan perjuangan itu dilalui hingga akhir hayat.
Rasulullah, yang penderitaannya melebihi siapapun, yang dihina dina dan dicaci melebihi nabi dan manusia manapun, yang mengalami kesedihan yang belum dirasakan umat sepanjang jaman.Â
Apakah kenestapaan panjang akan menghinakan Rasulullah, TIDAK ! Sama sekali tidak, beliau justru terangkat derajatnya menjadi yang paling tegar dengan kualitas penghambaan yang tidak terkalahkan oleh siapapun sampai akhir jaman.
Saya sepakat Pak Usep, bahwa kita adalah manusia biasa, bukan orang pilihan dan sangat jauh apabila disandingkan dengan manusia sempurna kekasih Sang Pencipta. Tetapi, justru kekerdilan kita miliki, bisa menjadi alasan kita untuk punya kesempatan belajar. Bahwa keterbatasan kita, menjadi kesempatan mencoba mengikuti rekam jejak Nabi junjungan.
Sedikit rasa nestapa hinggap di batin adalah kewajaran, karena kita manusia biasa selalu butuh diingatkan melalui sapaan kepedihan yang mampir di perjalanan hidup. Dan itu artinya, kita sedang disayang Sang Maha Pecipta, kita sedang dibukakan pintu untuk meneladani Sang Baginda Nabi.