Kalau sedang ada rejeki berlebih, Hanafi tak segan mengajak anak- istri mudik dengan moda transportasi udara. Hanafi merasakan, kesenangan tergambar di wajah sumringah buah hati dan belahan jiwa.
Kini setelah si sulung mulai baligh dan adiknya hampir sembilan tahun, mudik sudah tak seribet saat anak-anak masih kecil. Namun keseruan tetaplah ada, hanya dari sudut pandang yang berbeda.
------
Dari pulang kampung ke pulang kampung, Hanafi merenungi tentang perjalanan hidup telah ditempuh. Budaya mudik adalah gerakan massal, bahkan menggerakkan semua sektor kehidupan.
Harga tiket transportasi melonjak, karena  permintaan konsumen cukup tinggi, kebutuhan bahan pokok meningkat. Permintaan kendaraan, baik sewa, mobil bekas atau baru, barang elektronik, gadget, pulsa celuller, tempat hiburan dan wisata semua diburu oleh konsumen.
Setiap orang, ingin tampil lebih, berusaha memantaskan diri di hadapan sanak saudara, meski kadang ada yang memaknai lain lebih dari sekedar bersilaturahmi.
Satu hal yang tidak pernah berubah, adalah senyum tulus di bibir kedua orangtua, dan pertanyaan yang sampai sekarang tak jemu diucapkan ,"Han, Lebaran ini pulang kan?"Â
Kini setelah ayanda berpulang, ibu adalah tumpuan Hanafi dan kelima kakak-kakaknya. Sampai berkeluarga, Hanafi selalu berusaha, membawa persembahan sebagai tanda bakti, pengabdian dan rasa sayang. Meski sungguh, apapun yang dipersembahkan anak-anak, tidak akan pernah sanggup membalas kasih dicurahkan kedua orangtua.
"Matur suwun le, Kamu bisa pulang saja, sudah lebih dari cukup" ujar ibu, dengan suara parau.
Satu lagi, kalimat terima kasih seperti ini, rasanya hanya didengar Hanafi dari mulut ibu. Membuat haru membucah, menyaksikan senyum terkembang.