"Ya, Alloh perkenankan hamba, bisa kembali fitri di hari yang fitri" doa senada diulang selepas sholat dan diberbagai kesempatan khusyu.
Tanpa terasa, seminggu lagi Ramadan selesai, hal jamak ditemui, shaf-shaf di masjid semakin beringsut maju, termasuk masjid di dekat kost-an Hanafi. Ramadan di lima hari terakhir, kadang tiga shaf tidak genap, kadang dua shaf juga tidak lengkap, apalagi saat sholat subuh, wajah jamaah aktif bisa dikenali dan ditandai.
Mengejar tiket mudik seminggu sebelum lebaran jelas tidak mungkin, semua karcis alat transportasi sudah ludes diburu (bahkan dejak H-90) Mudik as lebaran tahun ini seperti jauh dari angan, tapi ada yang membuat hati Hanafi teriris dan kembali bimbang, pada saat mendengar kuliah subuh dari seorang ustad.
Materi tausiyah ini, seperti mengoyak perasaan, campur baur antara sedih, perih, binung, namun perlahan menyingkirkan perasaan bimbang. Pagi selepas subuh, Hanafi seperti mempunyai tekad baru, bahwa telinganya akan ditutup rapat ketika nanti mendengar pertanyaan (bernada cemooh) dari saudara dan kerabat.
"Buk, barusan saya beli tiket mudik, tapi dapatnya seminggu setelah lebaran,"
"Gak popo Han, sing penting mudik," suara ibu terdengar antusias.
Seketika waktu seperti terjeda, satu dua detik hening, saya seperti merasakan ada sesuatu hendak disampaikan ibu.
"Han, kemarin ibu ketemu teman SMPmu, itu yang namanya Fitri." Pada saat mendengar nama disebut, ada debar di hati Hanafi. Nama yang dulu pernah ditaksir semasa SMP kelas satu, kemudian teman ini pindah ke luar kota, mengikuti tugas ayahnya sebagai Camat.
Semoga, seusai Lebaran, Hanafi tidak lagi sekadar menanti Fitri-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H