Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Merawat Niat Ikhlas, Jangan Sampai Sedekah Salah Sasaran!

14 Mei 2019   11:32 Diperbarui: 14 Mei 2019   11:35 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tangkapan layar - dokumentasi pribadi

Kompas 16/1/2019 ; Pengakuan seorang pengemis bernama Legiman (52) cukup membuat terkejut petugas Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Pati. Dirinya mengaku memiliki tabungan senilai Rp 1 miliar kepada petugas. 

Tak hanya itu, Legiman membeberkan harga rumah miliknya di Margorejo, Pati, senilai Rp 250 juta dan sebidang tanah seharga Rp 275 juta. 

Legiman dan sejumlah orang terjaring razia penertiban petugas Satpol PP Pati pada hari Sabtu (12/1/2019). Penertiban dilakukan petugas di Kawasan Simpang Lima Pati.

Hmmm, rasanya geram campur kesal pastinya, membaca berita, seorang pengemis ternyata punya banyak duit banyak. Ibarat kata, kita yang memberi sedekah kemana-mana naik angkot atau motor, tinggal di kontrakan atau rumah sederhana. Sementara mereka ( pengemis) yang menengadahkan tangan, justru punya roda empat,  di kampung halaman membangun rumah gedung dan mewah, saldo rekening di tabungan pengemis tanda dinyana jauh melebihi yang memberi.

Menilik cuplikan berita di Kompas Januari 2019, siapa tidak kaget, seorang peminta-minta punya tabungan 1 milliar dan aset rumah dan tanah senilai ratusan juta. Saya sendiri, belum pernah melihat langsung uang milliaran---hehehehe-, saldo di rekening tabungan saya, jumlah nolnya belum pernah sampai duabelas digit, aset tanah juga tidak sebanyak punya pengemis di berita itu :).

Ada kabar lain memberitakan, pengemis suka mangkal di perempatan lampu merah di Bogor kedapatan pergi pulang (ke tempat mengemis) dengan mobil mewah yang di parkir di pusat perbelanjaan dekat tempat "berdinas". Bayangkan, lagaknya sudah seperti orang kantoran saja kan, bahkan melebihi orang kantoran yang level karyawan menengah, yekan.

Memang sih, kalau niat sedekah ya sedekah saja, urusan yang diberi bohong atau tidak bohong adalah urusannya dengan Sang Khaliq. Tapi kalau mengetahui fakta sebenarnya, si pengemis ternyata orang kaya dengan mentalnya pengemis, (menurut saya) memberi kepada mereka berarti mendukung mereka tetap bermental pengemis.

Pengemis berbaju rapi di sebuah pasar tumpah-dokpri
Pengemis berbaju rapi di sebuah pasar tumpah-dokpri

Saya dan istri, (sejak membaca, mendengar berita tentang pengemis kaya) mulai enggan memberi kepada pengemis yang ada di jalanan. Bahkan mereka yang penampilannya compang camping, tampak mengundang iba sekalipun, saya keukeuh tak memberi atau lebih baik pura-pura tidak melihat,

Kalaupun saya sedang ada rejeki, dan terbersit niat bersedekah, saya memilih memberikan ke lembaga resmi yang kredibel. Atau kalau sedang punya uang kembalian belanja di mini market, biasanya saya masukkan di kotak amal yang ditaruh di sebelah pintu masuk mini market. 

Perasaan ini jauh lebih lega dan ikhlas, karena sedikit uang yang saya sedekahkan setidaknya bisa dipastikan tepat sasaran. Dan lembaga pengelola dana sedekah tersebut, lazimnya rutin memberikan laporan penggunaan dana kepada donatur sebagai bentuk pertanggung jawaban.

Atau  kalau pengin sedekah secara langsung dan aman, saya lebih suka memberikan kepada orang yang dikenal, seperti memberi ke satpam di perumahan atau sekolah anak, tukang sampah yang rutin mampir setiap pagi di depan rumah, tetangga yang kita kenal dan memang kekurangan, kerabat yang kita sudah tahu keseharian.

pahala sedekah seperti air yang mengalir-dokpri
pahala sedekah seperti air yang mengalir-dokpri

Kegiatan bersedekah memang baik dan sangat dianjurkan agama, tetapi kalau kita salah sasaran, kemudian kita sadar, bisa-bisa niat yang semula tulus menjelma penyesalan. Sayang banget kan, niat mulia adalah panggilan hati nurani, kalau bersedekah yang seharusnya ikhlas tiba-tiba ternoda karena kondisi di luar perkiraan kita.

Kisah ibu Pemulung dan Mental Pengemis 

Haidist Riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW Bersabda, "Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah"

Di sebuah perumahaan di daerah Tangerang Selatan, hampir setiap sore saya mendapati ibu pemulung dengan dua anak usia SD, duduk di depan rumah salah satu warga di pinggiran jalan utama. Ibu paruh baya bersebelahan tiga karung berisi barang bekas, yang dipunguti dari kotak sampah warga perumahan tersebut.

Tampaknya ibu beranak kecapekan, setelah berjalan keliling perumahan dengan memanggul beban karung berisi hasil memulung. Tiga karung tampak padat (masing-masing dibawa ibu dan dua anak) penuh muatan, teronggok di sebelah tempat dia duduk, sebelum beranjak pulang rupanya mereka ingin mengembalikan tenaga.

Si ibu duduk sambil melihat mondar-mandir kendaraan, sementara dua anak jelang usia belasan memanfaatkan waktu dengan bermain (apa saja) seadanya, di guratan wajah polos tidak tampak kesedihan. Di salah satu tangan anak, memegang seplastik es teh (saya pernah memergoki) untuk diminum berdua secara bergantian.

ilustrasi-dokpri
ilustrasi-dokpri

Kami sekeluarga cukup familiar dengan Ibu pemulung, setau kami rumahnya di kampung pinggiran dekat perumahan. Kalau kebetulan (baik saat jalan kaki atau naik motor) kami berpapasan, si ibu menyapa dengan menganggukan kepala sembari sedikit membungkukan badan dan kami membalasnya.

Kalau sedang ada rejeki, saya dan istri tidak enggan berbagi kepada ibu ini, kebetulan kami tahu dua anaknya masih bersekolah di Sekolah Dasar Negeri. Pun kalau kebetulan di rumah sedang ada hajatan, persediaan makanan sedang banyak, hati ini tidak berat membagikan makanan untuk mereka.

Si ibu pemulung, dengan segala keterbatasan dia tidak ingin hanya menengadahkan tangan berharap belas kasih, terbukti tetap berusaha mengais rejeki dengan tenaga dimiliki. Kalaupun ada orang iba kemudian memberi, maka dia akan menyambut dengan suka cita, dianggapnya sebagai rejeki yang datang kepadanya.

-----------

ilustrasi-dokpri
ilustrasi-dokpri

Rasulullah Muhammad SAW, mengajak umatnya untuk giat bekerja (tidak bermalas-malasan), supaya bisa memberi (tangan di atas). Sementara tangan di bawah (menerima atau meminta), sebenarnya sebagai satu-satunya jalan terakhir setelah tidak ada lagi cara lain.

Ibu pemulung, (menurut saya) menjadi contoh nyata, bahwa ketiadaan tidak selalu identik dengan meminta atau menengadahkan tangan. Keterbatasan dimiliki, sama sekali tidak menjadikannya punya mental pengemis, maka dari itu dia berusaha semampunya bekerja, meski melibatkan anak-anaknya yang masih kecil.

Sudahlah, kita yang (merasa) pintar jangan menganggap itu sebagai bentuk eksploitasi anak-anak, pikiran ibu ini pasti tidak sampai sejauh itu. Mungkin saja (semoga benar) cara ibu ini menanamkan kepada anak-anak, bahwa selagi bisa berusaha janganlah menyerah apalagi bermental pengemis.

Memang, bersedekah musti menyertakan keikhlasan, tapi kalau kemudian hari kita sadar sedekah itu salah sasaran, saya sangsi apalah keikhlasan itu tidak ternoda ? Selamat berpuasa, mohon maaf kahir dan batin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun