Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghargai Pengorbanan Istri dengan Cara Memuliakannya

27 April 2019   06:02 Diperbarui: 27 April 2019   06:08 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara fisik, laki-laki diciptakan lebih perkasa, memiliki badan tegap dan kekar, tahan terhadap segala cuaca dan tidak mudah tumbang. Sementara perempuan, secara fisik (pada umumnya) lebih lemah, massa ototnya tak sepadat lelaki, namun diberi kelebihan memiliki naluri yang tajam.

Setelah menikah, kodrat lelaki mengantarkan sebuah peran baru sebagai kepala keluarga, mendapat amanah mengayomi anggota keluarga. Peran perempuan sebagai istri, melengkapi tugas tidak dipunyai lelaki (hamil, melahirkan, menyusui dan lain sebagainya), keduanya bekerja sama mengarungi bahtera rumah tangga.

Dengan kekuatan tenaga dan kuasa yang dianugerahkan kepadanya, tak elok suami perkasa ini menindas istri (entah secara fisik atau psikis) Perlu diingat, bahwa perempuan yang bersedia bersanding di pelaminan kala itu, karena takluk dengan janji manis lelaki yang menikahi.

Janji setia sehidup semati, melewati pasang surut dan menjadikan perempuan itu sebagai ratu di dalam kehidupan rumah tangga. Membuatnya bersedia menjadi tulang rusuk, sambil berharap untuk selalu dipeluk dan dilindungi, ketika kegelisahan menyelimuti sanubari.

Kasihan istri, kalau mulut dan ucapan manis itu ternyata berlaku hanya sesaat, sekedar untuk memikat hati perempuan hendak dinikahi. Jangan sampai obralan puja puji di awal pernikahan, tiba-tiba berubah menjadi tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Suami istri adalah dua pribadi berbeda, kalaupun ada perbedaan pendapat dan padangan antara keduanya adalah sebuah kewajaran. Kalaupun ada permasalahan karena perbedaan pikiran, pasti bisa dibicarakan dan diselesaikan dengan baik-baik tanpa kekerasan menyertainya.

Dampak KDRT berlaku panjang, akibatnya tidak hanya berlaku pada istri semata, tetapi alan dilihat dan dirasakan (bisa jadi) dicontoh oleh anak-anak. Hidup satu atap, yang menyertakan kekesaran di dalamnya, seperti mengobarkan api dan berpotensi melahirkan trauma, bibit dendam dan permusuhan.

sumber beritaenam,com
sumber beritaenam,com

Sayangi Istri, Hati manusia diciptakan untuk (biasanya) mudah luluh, ketika dihadapkan pada kenyataan, betapa dirinya baru menyadari telah banyak yang diterima sebagai persembahan. Coba ingat dan renungkan, ketika  moment sakral akad hendak dilangsungkan, perempuan yang kalian lamar pamit  dan merelakan diri melepaskan dari ayah ibunya.

Suara parau itu, menyertai kalimat demi kalimat berat dan tersendat menahan dada sesak, membuat semua hadirin hanyut dalam haru. Wahai para suami, perempuan dengan sepenuh kesadaran itu, memantapkan diri melepas dari tanggungan orangtuanya demi hidup bersama kalian.

Kalian adalah pria beruntung, berhasil menaklukan hati dan membuat perempuan itu bulat menyerahkan diri untuk hidup bersama kalian. Renungkan dan resapi dengan mendalam,  dalam hitungan menit saja sebelum ijab, pengorbanan besar dipersembahkan bakal istrimu.

Perempuan yang  kalian "ambil", bersedia menemani dan mengabdi kepada kalian, dalam lapang atau sempit dalam suka maupun duka. Maka sudah semestinya, laki-laki tersanjung dan berbahagia, mendapat persembahan dan perlakuan sebegitu istimewa dari perempuan dikasihi. Laki-laki yang kemudian menjadi suami, tidak berlebihan jika membalas pengorbanan istri dengan perlakuan dan perlindungan terbaik untuk belahan jiwa.

Pengorbanan Istri, Manusia diberikan rasa bosan dan jenuh, apabila menghadapi situasi monoton dan berputar dari itu ke itu saja saban hari. Namun, rasa bosan (yang sebenarnya wajar) musti segera diatasi, jangan sampai merembet dan mempengaruhi sikap kepada istri.

Setelah ijab berlangsung, perempuan memasuki masa susah payah "menyiksa diri", sembilan bulan lewat dengan janin di dalam rahim buah cinta bersama lelaki dipuja. Sembilan bulan masa kehamilan, adalah perjuangan sekaligus pengorbanan ditanggung demi sang suami bertransformasi menjadi seorang ayah.

Banyak pantangan dilakoni, makan ini tidak boleh ngemil itu dilarang, jalan terlalu cepat jangan, berlari terburu-buru apalagi. Memasuki bulan-bulan dekat melahirkan, beban berat di perut semakin terasa dengan segala keterbatasan yang harus dipatuhi.

Makhluk bernama perempuan, memang luar biasa diciptakan, sanggup menjalani tahap berat kehamilan, kemudian menjadi ibu bagi anak anaknya. Perempuan sebagai istri dan ibu, sepanjang waktu tak henti berkoban untuk suami dan anak-anak dikasihi.

sumber futureready.com
sumber futureready.com

Pengorban perempuan belum berujung,  mengurus dan menyusui bayi, adalah tahapan yang menguras waktu, tenaga dan (tentunya) emosi. Makhluk mungil buah hati ayah dan ibunya, begitu tergantung dengan orangtua (terutama ibu), kemana-mana digendong dan selalu minta kenyamanan.

Maka ibu adalah tempat untuk dekapan dan pelukan hangat itu, yang tidak akan pernah tega membiarkan tangis sang anak berkelanjutan. Dari pagi sampai pagi lagi, maka orang yang paling betah melek dan bercapek-capek mengurus manusia baru ini adalah sang ibu.

Menjadi istri dan ibu, menuntut perempuan ini paling pertama bangun dan berjibaku di dapur untuk menyambut hari bersama keluarga. Menyiapkan segala keperluan suami dan anak-anak, mempersembahkan (bahkan) dirinya untuk menampung kesah dan segenap cerita.

Maka Suami, -- Tugas suami tentunya tidak kalah berat, bersama istri musti sejalan membahu dan bertautan tangan menempuh bahtera rumah tangga. Suami ibarat tiang kokoh dalam rumah tangga, musti menghargai pengorbanan istri, untuk memupuk rasa sayang. (Pun istri sebaliknya)

Merunut pengorbanan istri, dari sesaat sebelum akad, mengandung janin buah cinta dan melahirkan, mengasuh anak dan mengabdi pada suami sampai batas tak terkira. Rasanya sederet pengorban itu, bisa dijadikan alasan sang kepala keluarga, untuk memuliakan belahan jiwa yang rela dan merelakan dirinya.

Memuliakan istri bisa dimulai dengan cara sederhana, dengan tutur kata baik dan menunjukkan sikap sayang (lewat tindak tanduk dan perhatian). Suami bisa membalas pengorbanan sang istri, dengan semangat berjuang dalam mencari penghidupan terbaik untuk keluarga tercinta.

Kalau kesadaran sikap saling berkorban dan menghargai ditanamkan dan ditumbuhkan, maka mustahil terjadi KDRT di dalam sebuah rumah tangga. Suami yang menyadari peran penting istri di sampingnya, tidak rela istrinya tersakiti oleh sikap dan perangi buruknya. -- Wallahu'alam -  semoga bermanfaat-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun