Bahwa ibu, adalah orang pertama dan paling berjasa, sebagai peletak pondasi hidup bagi anak-anaknya, tentu tidak ada yang menyangkal.
Bahwa ada ibu terlunta di usia senja, dan anak-anak abai dengan alasan kesibukan dan prioritas kebutuhan rumah tangganya harus dipenuhi lebih dulu, kenyataannya memang ada.
------
Masih ingat, ramai pemberitaan kasus di meja hijau Pengadilan Negeri Bandung, empat anak menggugat ibu kandung terkait persoalan tanah warisan. Miris batin saya, membaca berita Ibu berusia 78 tahun duduk di kursi pesakitan, digugat secara perdata senilai Rp.1,6 Miliar,
Ada lagi kasus di Pengadilan Negeri Garut, Siti Rokayah 83 tahun, digugat Rp. 1,8 milliar oleh anak kandung dengan dalih utang piutang. Apapun alasan si anak, meski (katakan) sangat logis dan memiliki kekuatan hukum, tetap saja saya teguh menentang sikap tidak terpuji si anak ini.
Kemudian kejadian dramatik dan tidak saya duga-duga, adalah gugatan anak kepada ibu kandung ditolak hakim dengan alasan cacat secara hukum. Sang Ibu dinyatakan bebas dari tuntutan, dan apa dilakukan perempuan berhati mulia, dengan besar hati memaafkan polah buah hati kesayangan---Ya Alloh, sedih saya bacanya.
Di lingkungan sekitar, Saya pernah menyaksikan sendiri, seorang kenalan bangkrut usahanya, justru orangtuanya yang dikejar debt colector ditagih membayar hutang anak. Kalau mau melanjutkan sendiri, monggo silakan, pasti masih banyak kisah keseharian, sejatinya bisa dipetik untuk menjadi pelajaran.
Kisah Koko, Pemilik Toko Bangunan ; -- setahun setelah membeli rumah dengan bangunan lama (2010), saya berbelanja bahan bangunan untuk merenovasi. Sebuah toko bangunan berukuran tidak begitu besar disambangi, saya memanggil Koko (sebutan kakak untuk saudara kita Chines) kepada pemilik toko.
Koko usia paruh baya, dibantu satu karyawan laki-laki, membahu melayani pembeli yang datang dan membutuhkan kebutuhan bangunan-- kala itu saya lumayan sering datang.
Dan di toko ini, ada pemandangan yang bikin adem dan betah, tak jauh dari tempat Koko biasa duduk (di meja kasir) ada ibu sepuh duduk dan mengamati kegiatan di toko -- saya menduga ibu kandung Koko.
Di sela-sela melayani pembeli, sesekali Koko menyamperi ibu sepuh, entah ngobrol sebentar, memberi makanan atau minuman, kemudian kembali ke meja kasir dengan binar di mata sipitnya.
Saya bisa merasakan bakti tulus Koko pada ibu sepuh, terlihat melalui gesture badan ketika mendekat, terdengar dari intonasi ketika berbicara atau gerakan saat memberikan sesuatu
Awal tahun 2019, saya datang membeli asbes, melihat karyawan bertambah menjadi tiga orang, ada mobil box parkir di pelataran, dan Koko tidak berubah dengan sikap ramahnya. Ibu sepuh terlihat sehat-sehat saja, Â menyapa pembeli dihapal muka tapi tidak tahu nama, "Anaknya yang dulu nangis, pas ke sini, sekarang di mana Pak?" sapa ibu sepuh akrab.
Mungkin, ibu sepuh (saya yakin) tidak paham dengan management toko bangunan atau strategi mengembangkan toko anaknya. Tetapi sebagai pembeli hati saya tersentuh, melihat bakti Koko dan itu menjadi alasan saya datang dan datang setiap kali butuh bahan bangunan.
Bisa jadi, pembeli lain punya pandangan serupa, sehingga punya keputusan yang sama juga, menjadi pelanggan setiap Toko bangunan koko. Maka kalau toko bangunan Koko menjelma besar, sejatinya ada alasan kuat dibalik keajaiban yang terjadi di depan mata.
Menyayangi ibu dengan Tangguh
Menyayangi Ibu (dan ayah tentunya), bisa dimulai dengan cara yang paling sederhana, dan tidak selalu identik dengan persembahan ini dan itu. Mulailah dengan (minimal) tidak membebani pikiran orangtua saja, apalagi kalau kita anaknya sudah berumah tangga dan beranak pinak.
Malu kan, kita anak yang sudah dewasa sudah berpenghasilan, sudah menafkahi anak istri, masa masih saja ngerepoti orangtua. Cukuplah, semasa kanan-kanak kita membuat susah orangtua, sebelum usia dewasa memang kita masih menjadi tanggungan ayah dan ibu.
Kalau  kita mau "naik kelas" lagi, cobalah memulai dengan rela menyisihkan sebagian pendapatan dikirimkan untuk ibu (semampu kita tentunya). Sungguh, senyum ibu karena bahagia atas sikap anaknya, akan melahirkan ridho, menumbuhkan keajaiban, membukakan pintu rejeki dari arah tidak terduga -- seperti kisah Koko di atas.
Berbakti pada orangtua, sangat bisa dilakukan setiap anak, tanpa harus menunggu berpunya atau berlebih harta benda. Menunjukkan sikap santun dan tidak bermuka masam, tidak membantah apalagi membentak, paling penting jangan sampai membuat ibu sakit hati -- Bahaya banget ini.
Bayangkan, ketika kita masih kanak-kanak, sudah tak terhitung  berapa kali kita berpolah tingkah yang membuat ibu marah atau (bahkan) malu. Dan ibu (ayah juga pastinya) tetap saja teguh, tidak pernah berhenti menyayangi anaknya, nyatanya kita masih ada hingga detik ini.
Setiap keputusan selalu ada ujiannya, termasuk niat baik mempersembahkan bakti kepada orang tuanya juga tidak lepas dari ujian. Tetapi bukankah dengan adanya ujian, justru memberi kesempatan kita untuk memperkuat niat dan tekad sehingga menjelma menjadi ketangguhan.
Kita pasti melewati saat lapang atau sempit, sesekali kita akan berada dalam situasi lapang dan sempit dalam hal keuangan. Tetaplah konsisten dengan tekad, jangan mengendurkan semangat, untuk terus mempersembahkan bakti kepada orangtua.
Dan biarlah waktu yang akan menjawab dengan sendirinya, tentang bukti atas ketangguhan rasa sayang anak pada orangtuanya. Menyayangi ibu dengan tangguh, adalah menyayangi sepenuhnya, tanpa peduli terik dan mendung tanpa terpengaruh lapang atau sempit.
Yakinlah, meski sayang anak tak bakal sepadan dengan sayang ibu, setidaknya kita sudah berusaha membuktikan ketangguhan akan rasa sayang itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H