Mengalahkan ego bukan hal yang mudah, tetapi hal ini (mengalahkan ego) menjadi kelaziman ditempuh pada sebuah pernikahan.
Mengelola ego suami dan istri dalam pernikahan, terjadi dan berlangsung sepanjang kehidupan pernikahan dijalani.
Kedewasaan akan teridentifikasikan, dari seberapa kuat dan seberapa mampu diri ini mengontrol dan mengelola ego. Semakin sering suami dan atau istri mengalah, demi kebahagiaan dan keutuhan bersama, maka semakin ego itu bisa ditaklukkan.
Kemudian hasil kerja keras dan segala diupayakan, dibawa pulang menjadi persembahan terbaik untuk istri dan anak-anak di rumah.
Seorang istri rela mengabdikan diri, bangkit dari tempat tidur sebelum suami bangun, berjibaku di dapur mempersiapkan segala kebutuhan pagi hari.
Istri bersedia (tentu dengan kesepakatan bersama, misalnya) mengesampingkan karir di luar rumah, dilakukan penuh suka cita demi kebaikan bersama.
Maka hanya dengan pernikahanlah, memungkinkan semua proses saling mengalah dan menyediakan diri berkorban bisa terjadi. Maka hanya dengan pernikahanlah, memungkinkan terbukanya pintu-pintu pembelajaran untuk saling menghargai dan saling terikat bisa terjadi.
"Ikatan suci Pernikahan" sesungguhnya bisa menjadi kata sakti, sehingga suami dan atau istri tidak bisa berlaku aniaya dan seenaknya. Pernikahan, bisa menjadi sarana bagi suami dan istri, untuk terus belajar (seumur hidup) dan saling mendewasakan diri.
Maka jangan heran, kalau jiwa yang semula kerdil, akan bertumbuh menjadi jiwa pembelajar yang penuh toleransi. Pernikahan bisa menjadi ajang mengajarkan banyak hal tentang kesabaran, melembutkan hati yang semula keras dan angkuh (karena ego dikelola).
Kalau dengan menikah, ternyata belum merubah sifat kekanakan, sebaiknya introspkesi diri dan segera berbenah. Menikahlah dan siaplah berproses menjadi dewasa, karena menikah bisa menjadi cara untuk menguji seberapa kuat kalimat 'Dunia Milik Berdua'