Dulu, pada rentang usia 26-27-28, saya pernah dibuat sangat kesal dengan satu orang usianya beberapa tahun di atas saya. Pasalnya dia kerap bertanya "Kapan Nikah", tanpa pandang tempat dan waktu, parahnya pertanyaan sama selalu diulang di berbagai kesempatan.
Saya bisa menangkap maksud kurang bagus, orang ini (seperti) ingin menjatuhkan harga diri saya. Memang seserius itu sampai menyangkut harga diri?
Bayangkan, ketika keluarga besar sedang berkumpul di sebuah acara nikahan, pertanyaan 'Kapan Nikah' dilontarkan orang ini (sambil cengengesan).
Bak seorang pesakitan yang tidak berdaya, sontak semua mata hadir saat itu tertuju pada saya, pandangan itu terasa tajam bagaikan menguliti. Sampai sekarang, kejadian itu masih lekat terekam benak, campur baur perasaan malu, sakit hati, kikuk, linglung dan rasa tak enak lainnya.
Belum lagi, kalau tidak sengaja ketemu secara personal, atau ketemu pas acara tertentu, kalimat sama masih saja terdengar telinga. Salahnya saya, terlalu sungkan pada orang yang lebih tua, budaya jawa rasa ewuh pekewuh melawan orang secara frontal turut mempengaruhi sikap saya.
Maka cara saya menyerang balik, adalah dengan diam membisu dan tidak memberikan reaksi atas ucapannya, sambil menunjukkan wajah tidak suka.
Belajar dari kejadian membuat  malu dan sakit hati, saya malas datang bahkan di hari lebaran tidak pulang dengan alasan lembur.
Entahlah, salah apa pernah saya perbuat, sampai orang ini begitu tega dan getolnya berlaku demikian pada saya. Saya menerka-nerka, sepertinya (sepertinya ya) ada rasa iri terselip melihat pencapaian karir saya kala itu sementara dia begitu begitu saja ( ini sekedar analisa)
Tetapi sebenarnya ada juga dampak positif, yaitu saya lebih terpacu berusaha menemukan belahan jiwa, giat bertanya kesana sini mencari kenalan.
Akhirnya doa dan pengharapan ini terkabulkan juga, setelah menempuh perjalanan dan penantian panjang, perempuan dinanti bersua melalui jalan tidak disangka.
Baru kenal tiga minggu, saya bersikeras datang dan bertemu orang tua calon istri (kala itu), demi mengejar target menikah sebelum tigapuluh tahun.
Mungkin ini yang dinamakan jodoh, maksud baik dimudahkan jalan, semua urusan lancar (saya merasa) sebagai buah kesabaran ditanam(tepatnya menahan sabar).
Di mata saya, keberadaan orang ini bagai benalu dan tidak saya hiraukan, mungkin efek terlalu lama menahan kesal.
Ada yang berubah saat ketemu selepas lebaran, orang ini tiba-tiba meminta maaf bahkan sampai mengucapkan kalimat 'Maaf dari lubuk hati paling dalam.'
Dengan senang hati saya memaafkan, sampai sekarang hubungan kami baik, sakit hati pernah bersemayam perlahan - lahan pupus.
Sungguh, memaafkan seperti melepas 'penyakit' menempel, rasa sakit hati sirna dan rasa plong itu menguasai.
Indahnya memaafkan....
Maksud Bertanya Kapan Menikah
Manusia memang unik, ada ruang untuk sifat (kalau boleh disebut) negatif, yaitu tidak senang melihat orang lain nyaman atau berusaha berdamai dengan keadaan.
Terdorong sifat inilah, manusia selalu mencari celah dan atau kelemahan orang lain, kemudian dijadikan senjata menjatuhkan orang dituju.
Bertanya 'Kapan Menikah', pada orang yang belum ada calon (padahal si penanya sudah tahu itu) seperti sebuah serangan telak. Konteks pertanyaan bisa dibungkus dengan candaan, tetapi kalau guyonan sama diulang-ulang  (percaya sama saya) akan terdengar garing dan menyakitkan.
Guyonan pertanyaan 'Kapan menikah' akan berubah menjadi serius dan menyebalkan, ketika diucapkan pada tempat dan waktu yang tidak tepat (seperti kasus saya),
Pertanyaan yang membuat, (perlahan tapi pasti) hubungan persaudaraan, persahabatan, pertemanan berubah tidak asyik dan renggang.
Kecuali bagi orang yang hoby mencari musuh, dia tidak akan peduli sakitnya perasaan orang lain akibat kelakuannya.
Saat sedang ngobrol berdua dalam keadaan santai, tidak ada orang lain memperhatikan dan suasana dibangun membua nyaman.
'Eh, Ustad  A sering memberi kesempatan ta'aruf untuk jamaahnya, kalau lu mau ikutan ntar gue anter deh', coba resapi, betapa sejuk kalimat ini ditangkap gendang telinga dan dirasakan hati.
Selain memberikan solusi informasi (tentang kegiatan di tempat Ustad A), sekaligus mengulurkan bantuan (yaitu mengantar ke pengajian ustad yang dimaksud)
Niat atau maksud dikandung dibalik sebuah pertanyaan, ternyata memberi efek reaksi yang berbeda, meskipun kalimat diucapkan sama yaitu "Kapan Nikah?"
Hal ini mempengaruhi respon yang jauh berbeda, secara natural setiap kita otomatis bisa mendeteksi, siapa yang bermaksud menjatuhkan dan siapa yang melapangkan jalan keluar.
Sebagai orang (katanya) berwawasan, kita pasti bisa memilih sikap lebih bijak, jangan sampai menyakiti orang lain gara-gara pentanyaan dengan niat menyakiti.
Lagi pula apa untungnya bertanya 'Kapan Nikah' kalau tidak menyertakan solusi, menjatuhkan nama baik orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H