Menerapkan Idealisme Pepohonan Pada Suami Istri
Seingat saya, dari belum sekolah sampai lepas SMA (sebelum merantau), ibu adalah orang yang pertama kali (di rumah kami) bangun pada dini hari.
Kebiasaan yang sama setiap pagi diulang-ulang terus oleh ibu, yaitu berjibaku di dapur memasak dan menyiapkan sarapan seluruh anggota keluarga.
Tidak hanya memasak, ibu juga mencuci pakaian suami dan anak-anaknya, kemudian membangunkan anggota keluarga ketika terdengar adzan subuh.
Sekitar jam setengah tujuh pagi kami sudah sarapan, ayah dengan seragam gurunya, saya dan kakak-kakak siap dengan seragam sekolah masing-masing.
Barulah ibu bergegas mandi dan berpakaian rapi, menyiapkan tas anyaman dengan kotak makan di dalamnya (karena tidak sempat sarapan dirumah).
Ketika ayah berangkat mengajar, anak-anak berangkat menuntut ilmu, ibupun bersiap ke pasar berjualan sembako di lapak sederhana.
Jam tujuh pagi (kecuali akhir pekan) rumah kosong ditinggal penghuninya, setiap anggota keluarga berpencar ke tempat tujuan masing-masing -- kunci dibawa ayah dan ibu.
Ayah menempuh perjalanan panjang, dengan berjalan kaki menuju ke sekolah tempatnya mengajar di desa tetangga. Jarak rumah dengan sekolah tempat ayah mengajar, sekira sepuluh kilometer ditempuh melintasi pematang sawah cukup panjang.
Kalau sedang kangen almarhum ayah, pas pulang kampung (dengan motor) saya menyusuri jalanan menuju sekolah tempat ayah mengabdikan diri. Rasa haru itu membuncah, membayangkan rutinitas lelaki sederhana, menempuh perjalanan jauh setiap pagi dan siang hari.
Tugas ayah dan ibu, adalah tugas pengabdian pada kehidupan, butuh ketekunan, kesungguhan dan upaya menekan ego secara berkelanjutan.
Apapun suasana hati ayah dan ibu, nyatanya masa itu terlewati, mereka menjalani kegiatan yang sama bertahun-tahun, sampai anak-anaknya mandiri dan berkeluarga.