"Reog Cino iku, rek" tebak satu teman dengan logat suroboyoan
Masing - masing mempunyai tugas memegang alat musik, tempo nada dari perpaduan tiga alat musik terasa membangkitkan semangat.
Musik dimainkan mengiringi, sebuah atraksi naga buatan (beberapa saat setelah selesai, saya baru tahu namanya barongsai) yang dikendalikan dua orang.
Satu orang di bagian depan bertindak sebagai kepala naga, satu orang lainnya di ekor, mereka bekerjasama dengan kompak dan apiknya.
Naga dengan rumbai-rumbai warna merah putih kuning, memenuhi sepanjang badan hingga ekor, setiap gerakan membuat rumbai bergoyang begitu cantiknya.
Sungguh, saya benar-benar dibuat takjub, tidak sembarang orang mampu beratraksi segesit dan sekompak pemain barongsai. Keduanya musti menekan ego, tidak boleh merasa unggul dan pengin terlihat lebih, karena keduanya menjadi kesatuan.
Hari itu, bulan februari (seingat saya) tahun 2001, menjadi pengalaman pertama, menyaksikan barongsai di hari Imlek. Pusat perbelanjaan di Surabaya berhias, dipasang ornamen lampion, pohon berdaun merah dengan gantungan amplop kecil warna senada, dan ornamen khas lainnya.
Petugas di tempat keramaian publik berbusana khas Cici dan Koko, membuat suasana peringatan imlek semakin meriah dan terasa khidmat.
Melalui Kepres no. 6 /2000, Imlek dijadikan sebagai hari libur fakultatif (bagi yang merayakan). Hal ini menjadi tonggak bersejarah. Akhirnya Imlek dirayakan secara terbuka dan berlaku nasional, saudara kita warga Tiong Hwa bisa bersuka cita menyambut tahun barunya.