Seorang kenalan (perempuan usia jelang 40-an) cukup dekat, garis wajahnya datar dan terkesan tidak terlalu antusias. Ketika saya mengutarakan maksud, hendak mengenalkan dengan seorang teman lain, yang tengah giat mencari pendamping hidup.
"ntar deh, gue pikir dulu ya" jawabnya singkat
Sebenarnya, saya (pastinya) sudah mempertimbangkan dengan masak, sebelum mengenalkan seseorang. Orang yang saya "tawarkan", duda dua anak (istri meninggal karena sakit). Sementara kenalan perempuan, pekerja kantoran (dari pengakuannya) belum pernah pacaran sama sekali.Â
Dari sisi usia keduanya tidak terpaut jauh, pun dari segi pengalaman hidup, (saya pikir) setidaknya sama-sama sudah merasakan asam garam kehidupan.
"Gue nyari istri, bukan untuk punya anak lagi" pesan teman lelaki
Seminggu dua minggu berlalu, inisiatif memperkenalkan menguap begitu saja. Teman perempuan tidak ada keinginan menindaklanjuti, dan kawan duda mencari yang lebih serius. Sebagai perantara, (sebenarnya) saya tidak punya beban apapun. Namun, setidaknya saya punya kesimpulan jawaban, mengapa teman perempuan ini belum menikah, pada usia yang sangat cukup.
Sungguh, saya sedang tidak  menilai perihal salah dan atau benar pilihan sikap kawan perempuan.Tetapi membiarkan kesempatan lewat begitu saja, juga tidak sepenuhnya benar. Bukankah kita sendiri tidak akan pernah tahu, perjalanan hidup di masa mendatang, apalagi kalau kitanya enggan mengambil keputusan.
Sebenarnya pernikahan, (menurut pengalaman saya) bukan teori rumit dengan definisi kalimat muluk-muluk penuh retorika. Kehidupan pernikahan, tidak ubahnya seperti kehidupan keseharian yang wajar lengkap dengan pasang dan surutnya.
Sebuah pernikahan adalah untuk dijalani, kalaupun ada dinamika itu biasa, justru menjadi peluang untuk belajar lebih bijaksana sekaligus mendewasakan diri.
"Duh, punya suami dan anak, repot kali ya" ujarnya teman perempuan suatu saat.
Mendengar kalimat ini, sebenarnya saya ingin sekali mendebat. Tapi saya belum menemukan kalimat yang tepat, untuk memberikan sudut pandang.
Menikah itu Tidak Memberatkan
Manusia pertama Adam AS, diciptakan dan diturunkan di surga dan dipenuhi segala macam kebutuhan. Kemudian suatu saat dilanda perasaan kesepian (padahal sudah di surga sudah tersedia fasilitas lengkap lho), karena hidup seorang diri. Nabi pertama ini kemudian memohon kepada sang Khalik, untuk diberikan pendamping hidup dan diturunkan Siti Hawa. Dari dua muasal manusia (Adam dan Hawa) inilah, akhirnya beranak pinak berketurunan, sampailah pada kita manusia akhir jaman.
Berpasangan (laki-laki  dan perempuan), sejatinya sudah menjadi fitrah penciptaan manusia. Kalau berpasangan tidak dikategorikan fitrah, (asumsi saya) Nabi Adam pasti sudah nyaman dalam kesendirian dengan fasilitas lengkap di surga.Â
Kita manusia diciptakan tidak sempurna, sehingga butuh orang lain untuk saling melengkapi satu dengan lainnya. Sebegitu utamanya menikah, disebutkan dalam sebuah hadist Al Baihaki dalam syu'abul iman, (intinya) "Bahwa jika seseorang menikah, maka menyempurnakan separuh agama." (detilnya silakan googling)
Begini, setiap fase kehidupan memiliki tantangan sendiri. Hidup ini ditakdirkan dengan tantangan, dan manusia dibekali akal pikiran untuk menyelesaikan tantangan tersebut.
Persoalan gagal dan atau berhasil menghadapi tantangan, menurut saya point-nya (sebenarnya) bukan pada hasil akhir. Titik beratnya adalah, seberapa sungguh manusia berusaha dengan maksimal, untuk menyelesaikan tantangan sebaik mungkin. Kesungguhan dalam proses berusaha inilah, Â yang akan menentukan kualitas manusia. Maka kalau ada istilah "bekerja sepenuh hati", bisa menjadi representasi kesungguhan manusia dalam berusaha.
Kalaupun ada kasus, seseorang sampai usia (misalnya) tigapuluh atau empatpuluh tahun lebih, bahkan sampai tutup usia sekalipun, Â belum menjumpai pendamping hidup, jangan serta merta memberi penilaian.Â
Selama upaya (mencari belahan jiwa) terus diikhtiarkan, kemudian niat menggenapkan separuh agama terus dikuatkan, mungkin hanya menunggu waktu. (termasuk yang selama hidup di dunia, Â belum menemukan belahan jiwa, Â Insyaallah akan bersua jodoh di alam kekal - Wallahu'alam). Sekali lagi, Â yang penting upaya pencariaan itu, Â jangan pernah putus asa.Â
Masalahnya, kalau dari dalam diri sudah kendor niat seperti kisah di awal tulisan. Semangat itu tidak tampak membara, meskipun kesempatan sudah tersedia di depan mata---ya susah juga.
Sementara memilih melajangpun, bukan jaminan terlepas dari permasalahan? tidak juga kan?
Ya, menikah sejatinya tidak memberatkan, asal menyertakan niat menggenapkan agama, maka semua akan dijalani dengan kesungguhan (Wallahu'alam)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H