Seorang kenalan (perempuan usia jelang 40-an) cukup dekat, garis wajahnya datar dan terkesan tidak terlalu antusias. Ketika saya mengutarakan maksud, hendak mengenalkan dengan seorang teman lain, yang tengah giat mencari pendamping hidup.
"ntar deh, gue pikir dulu ya" jawabnya singkat
Sebenarnya, saya (pastinya) sudah mempertimbangkan dengan masak, sebelum mengenalkan seseorang. Orang yang saya "tawarkan", duda dua anak (istri meninggal karena sakit). Sementara kenalan perempuan, pekerja kantoran (dari pengakuannya) belum pernah pacaran sama sekali.Â
Dari sisi usia keduanya tidak terpaut jauh, pun dari segi pengalaman hidup, (saya pikir) setidaknya sama-sama sudah merasakan asam garam kehidupan.
"Gue nyari istri, bukan untuk punya anak lagi" pesan teman lelaki
Seminggu dua minggu berlalu, inisiatif memperkenalkan menguap begitu saja. Teman perempuan tidak ada keinginan menindaklanjuti, dan kawan duda mencari yang lebih serius. Sebagai perantara, (sebenarnya) saya tidak punya beban apapun. Namun, setidaknya saya punya kesimpulan jawaban, mengapa teman perempuan ini belum menikah, pada usia yang sangat cukup.
Sungguh, saya sedang tidak  menilai perihal salah dan atau benar pilihan sikap kawan perempuan.Tetapi membiarkan kesempatan lewat begitu saja, juga tidak sepenuhnya benar. Bukankah kita sendiri tidak akan pernah tahu, perjalanan hidup di masa mendatang, apalagi kalau kitanya enggan mengambil keputusan.
Sebenarnya pernikahan, (menurut pengalaman saya) bukan teori rumit dengan definisi kalimat muluk-muluk penuh retorika. Kehidupan pernikahan, tidak ubahnya seperti kehidupan keseharian yang wajar lengkap dengan pasang dan surutnya.
Sebuah pernikahan adalah untuk dijalani, kalaupun ada dinamika itu biasa, justru menjadi peluang untuk belajar lebih bijaksana sekaligus mendewasakan diri.
"Duh, punya suami dan anak, repot kali ya" ujarnya teman perempuan suatu saat.
Mendengar kalimat ini, sebenarnya saya ingin sekali mendebat. Tapi saya belum menemukan kalimat yang tepat, untuk memberikan sudut pandang.