Satu dua hari ini, wira-wiri di TL facebook saya ungkapan rasa syukur dari para orang tua. Perihal kabar gembira, setelah melihat dan atau membaca pengumuman kelulusan. Sang anak yang dijagokan, lolos di SMP, SMA atau Perguruan Tinggi yang dituju. Setelah perjuangan panjang, belajar sepenuh hati, berjajar panjang antre saat mendaftar, dengan tekun dan hati-hati menyelesaikan satu per satu soal test. Â
Menanti  datangnya hari pengumuman, pasti bukan hal yang menenangkan. Semakin dekat yang ditunggu, perasaan tak menentu semakin hebat. Saat hari ditunggu datang, sedari pagi perasaan semakin tak tenang.Â
Melihat nama, nomor test dan bacode sang jagoan, tercantum di laman pengumuman, pastilah senang bukan kepalang. Setelah segala macam deg-degan dirasakan, akhirnya terbayarkan dengan kabar membuncahkan. Wajar, jika kegembiraan itu terasa sangat menyenangkan.
Huh, Pamer... ! Jangan langsung nyinyir gitu dong. Â Tidak semua berita gembira yang dipublish di medsos, serta merta dikategorikan pamer. Bisa jadi luapan kegembiraan, sebagai bentuk kelegaan yang sangat dalam. Setelah upaya menegangkan dilalui, sampai akhirnya buah manis didapati. Lagian apa susahnya, ikut bergembira atas kegembiraan yang dirasakan orang lain. Dengan ikut bergembira, semoga saja tertularkan keberhasilan yang sama pada lain kesempatan---Amin. Kalau diri sendiri berada di posisi sama, buan tidak mungkin melakukan hal serupa. Meluapkan kegembiraan di medsos, setelah apa yang diupayakan berhasil diraih.
Kabar suka cita yang dipublish atau disimpan sendiri, adalah pilihan yang bebas-bebas saja. Setiap orang berhak mengambil keputusan, selama tidak menganggu kemerdekaan orang lain. Toh, dampak setiap keputusan, akan ditanggung yang bersangkutan.
Masih di beranda medsos yang sama, - meski tidak terlalu banyak -- beberapa status menuliskan hal yang kontras. Membesarkan hati buah cinta, menerima kenyataan sedang dihadapi. Bahwa masih ada kesempatan lain diraih, menggantikan kegagalan yang dialami. Tentang kabar kegagalan, terbilang relatif lebih sedikit dipublish ketimbang yang berhasil. Lagi pula apa guna, menunjukkan kesedihan di ranah publik. Biarlah rasa pedih ditangguh, menjadi rahasia di lubuk hati. Menguatkan diri melangkah ke depan, untuk meraih keberhasilan masa mendatang.
-00o00-
Setelah melepas si mbarep menuntut ilmu, ada yang bergemuruh di rongga dada. Lelaki di ambang baliq itu, mulai menjauh langkah meninggalkan rumah. Sejatinya saya gentar, meski dihadapannya si ayah berusaha tampak tegar. Entah sekarang atau nanti, tiba saat si sulung  melepaskan diri dari ayah ibunya.
"Doa ayah dan bunda, selalu memeluk kakak," ujar saya sok tegar.
Â
Hidup ini sudah satu paket komplit, apapun posisi dan atau keadaan tersedia, niscaya akan dilalui setiap orang. Entah berhasil dan atau gagal, entah riang dan atau duka, masing-masing orang punya jatahnya. Tak ada, orang yang hannya berada di satu sisi saja --selalu beruntung saja, atau selalu sedih terus-terusan. Semua kejadian ganti mengganti, datang dan pergi seperti hadirnya siang dan malam. Â Seperti roda dunia, terus berputar di porosnya sampai akhir kehidupan.
Kesenangan diterima saat ini, bisa jadi menebus luka masa lalu pernah dialami. Kalaupun ada duka yang hinggap, mungkin sebagai pengingat agar tidak lupa diri. Semua ada masanya, setiap manusia akan melewati titian demi titian kehidupannya masing-masing.
Tentang cara mengekspresikan senang dan sedih, sepenuhnya tergantung setiap orang. Perbedaan latar belakang lingkar pergaulan, sosial ekonomi dan perbedaan tentang banyak hal, akan mempengaruhi cara meluapkan perasaan.Â
Tak elok menghakimi pilihan orang lain, atas alasan tidak sesuai dengan pilihan sendiri. Benar atau salah itu subyektif, tidak perlu dibesar-besarkan. Selama tidak mengganggu diri, tak usah terlampau repot dengan pilihan orang lain. Berempati saja, baik dalam suka dan duka dialami teman dan sahabat. Sikap serupa, akan kita dapati pada saatnya nanti.
"Ayah, ini dikirimi foto kakak,"
Tampak sulung sibuk, dengan teman-teman, kegiatan dan dunianya yang baru. Saya pernah merasakan, bagaimana mengelola rasa kangen di awal jauh dari rumah. Bisa jadi perasaan yang serupa, kini sedang dirasakan remaja satu ini. Pada awal melepasnya saya berujar, akan datang menjenguk secara berkala.
Pada ujung tulisan ini, saya turut mengucakan selamat, bagi teman, sahabat, para orang tua, yang putra-putrinya berhasil menembus sekolah pilihan. Bagi orang tua, yang putra-putrinya masih harus berjuang lagi, semoga segera dihampiri keberhasilan. Jangan terlalu sangsi, hidup itu sudah satu paket komplit. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H