Malam itu acara inti sekesai setengah tujuh -- sudah termasuk berbuka dan sholat maghrib-, dilanjutkan dengan sesi doorprize dan foto-foto. Kalau saya memakasakan diri menunggu bagi-bagi hadiah, bisa-bisa lewat jam tujuh masih ada di lokasi acara. Saya pamit untuk mengejar taraweh, sampai masjid masih ada waktu untuk sekedar istirahat.
Malam itu di malam ketiga bulan Ramadan, jamaah masjid yang ada di tengah pusat kota Metropolitan hanya empat shaff terisi. Saya yakin, banyak masjid lainnya --mungkin---bernasib sama. Belum genap sepekan puasa berjalan, semangat taraweh berjamaah mulai kendor.
-00o00-
"Kalau tidak ada udzur yang sangat, kenapa tidak taraweh"
Sungguh, saya pribadi, masih berusaha keras melawan ego diri. Berusaha menjaga malam-malam Ramadan, dengan memperbanyak ibadah sebisanya. Taraweh saya jauh dari sempurna, ngajipun baru sebatas membaca Quran belum paham makna.
Alangkah sia-sia, kalau melewatkan ibadah spesial yang ada hanya di malam Ramadan. Sholat Taraweh, tak akan bisa dijumpai malam di bulan apapun kecuali malam Ramadan. Senyampang masih ada waktu dan nyawa, mengapa musti disia-siakan. Belum cukupkah, sebelas bulan jiwa raga ini bergulat dengan segala urusan dunia.
Malam ke duapuluh lima Ramadan -- saat saya tulis artikel ini--, masjid di dekat rumah mulai sepi. Shaf terpakai hanya seperempatnya, sisanya melompong tiada berpenghuni. Mungkin sudah pindah ke pusat perbelanjaan, atau mungkin masih sibuk dengan acara buka puasa bersamanya.
Yang pasti, apapun kegiatan selain taraweh, menurut hemat saya sungguh disayangkan. Siapa bisa menjamin, bahwa tahun depan dirinya masih diberi umur panjang. Coba saja, kalau kita tahu tahun ini adalah Ramadan terakhir, niscaya tidak mau melewatkan malam-malam penuh berkah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H