Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Pengalaman Pertama Nonton Film Indonesia di Bioskop Medio 80-an

1 April 2018   08:19 Diperbarui: 30 Maret 2021   12:30 3290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bioskop zaman dulu/sumber gambar: duniaindra.com

Sebagai anak kampung, bioskop adalah sebuah hiburan sangat mewah bagi kami yang hidup di desa. Desa saya adalah desa kecamatan, jauh dari keramaian kota (kota kecil sekalipun). Untuk menuju kota kabupaten pun, butuh waktu tempuh sekitar 30 menit.

Kendaraan umum (biasanya colt), hanya beroperasi sampai jam lima sore. Jadi jangan harap pergi ke kota, saat hari sudah mulai gelap, kecuali punya kendaraan sendiri. Terlebih, di medio 80-an ketika itu, listrik belum masuk di desa saya.

Untuk transportasi ke kota, kami hanya punya satu-satunya motor --tua dan buntut-- milik ayah dan ibu kami. Itu pun diklaim sebagai milik kakak sulung --kala itu sudah kuliah. Secara tidak tertulis, kakak paling besar punya hak paling utama atas pemakaian kendaraan roda dua tersebut.

Kami, lima adik-adiknya, tidak protes sama sekali -- entah karena manut, atau tidak bisa naik motor. Apalagi saya sebagai bungsu, tidak bisa berbuat apa-apa.

***

"Le, ndang sehat yo, nanti ibu ajak nonton bisokop" bujuk ibu

Saya masih duduk di kelas tiga SD (ketauan deh umur saya--hehe) ketika ibu ajak saya nonto bioskop. Dan tubuh kecil ini sudah beberapa hari sedang 'protes.'

Konon ada film bagus, berjudul Perawan Desa diproduksi tahun 1980 --kami nonton tahun 1983-- dan meraih beberapa kategori Piala Citra , FFI 1980.

Sungguh, keinginan nonton bioskop tidak pernah terlintas di benak saya. Hiburan saya dan teman seusia, hanya film kartun yang diputar di TV hitam-putih 14 inci -- yang hanya ada di teras kantor kecamatan. Lebih dari itu kami girang bukan main.

Kalau ada layar tancap diputar dan disponsori bumbu masak, sabun deterjen, atau mie instan sedari siang, saya sudah tidak sabar ingin pergi ke lapangan bola di dekat pasar. Biar tidak ngantuk, selesai salat duhur saya tidur siang.

Mendengar ajakan ibu nonton bisokop, saya hanya bisa membatin, "Tumben amat, ibu sedang kenapa ya?" Harga karcis nonton bioskop, tentu bukan nominal yang kecil buat keluarga kami mengingat ayah saya guru dan ibu pedagang di pasar.

Pun biasanya, kalau anaknya sakit, ibu paling hanya memberi iming-iming  membelikan makanan kesukaan anaknya. Kalau anaknya sehat, akan dibelikan bakso Pak Gambleh (bakso paling terkenal lezat di kota kabupaten), atau dibelikan tepo tahu (makanan khas Jawa Timur).

merdeka.com
merdeka.com
Sabtu pagi kakak nomor dua --yang sudah kuliah di Surabaya-- tiba di rumah, ibu memastikan bahwa ajakan nonton bioskop sebagai sesuatu yang serius.

Sakit di badan, belum sepenuhnya hilang. Persentasenya kira-kira tinggal 10 persen lagi badan baru bisa pulih seperti sediakala.

"Ayo, siap-siap," ajak ibu usai salat magrib.

Meski saya tidak terlalu bersemangat, tetap saja ibu langsung mengganti baju yang saya pakai dengan kaos lebih bagus.

"Kalau kamu hatimu seneng, pasti lekas sembuh," bujuk ibu sambil memakaikan jaket.

iya.com
iya.com
Roda dua membawa kami bertiga, menembus gelap menuju kota kabupaten. Saya duduk di tengah, diapit kakak -- sebagai pengemudi---dan ibu di belakang.

Semangat ini tak kunjung datang, terbukti sepanjang perjalanan --seingat saya-- mata ini langsung merem dan langsung tertidur. Sehinga saya tidak terlalu ingat bagimana detail peristiwa keberangkatan. Ketika terbangun saya sudah berada di dalam gedung bioskop.

Gedung Bioskop Mehendra, sebagai tempat nonton paling bergengsi kala itu, menjadi tempat di mana saya dan ibu menonton untuk kali pertama. Ya walaupun seumur-umur --sampai gedung ini tutup-- menonton di sini tak sampai terhitung jari.

Di dalam, saya tidak tahu sedang melihat film dengan judul apa, tidak kenal pemainnya siapa saja dan bagaimana jalan ceritanya. Kakak kedua saya --ternyata pernah nonton film ini di Surabaya-- juga tidak ikut masuk, memilih menunggu di luar bioskop.

Setelah masa jauh berlalu, baru saya ketahui alasan ibu bersikeras nonton. Rupanya, kakak nomor dua yang 'meracuni' pikiran ibu. Film Perawan Desa, diangkat dari kisah nyata. Seorang perempuan penjual telur, diperkosa anak seorang pejabat. Yati Surachman sebagai pemeran utama, kala itu sebagai pemain yang diperhitungkan--

Saat pemutaran film, mendadak perut saya mual bukan main. Badan terasa panas dingin, dan akhirnya -- saya ingat betul-- saya muntah di dalam gedung bioskop. Ibu tampak kerepotan, memijit-mijit belakang leher anaknya. Balsem andalan dikeluarkan.

Ajaibnya, kepala ini menjadi lebih ringan. Badan menjadi jauh lebih enakkan. Meski masih ada rasa kuyu di badan, tapi saya bisa mengingat wajah pemain di film tersebut.

Adegan sidang pengadilan, kemudian si penjual telur yang menangis dan diancam. Hanya sekilas-kilas saja, mampir diingatan --untung sekarang ada Youtube, saya bisa melihat ulang dengan lengkap.

Informasi tentang film ini saya dapat selang beberapa bulan setelah menonton. Saya baca judul film dan pemainnya, dari Koran Suara Karya (sebagai Guru, ayah kerap membawa pulang koran ini) yang terbit di hari Sabtu. Nama Yati Surachman dan Hendra Cipta, akhirnya saya ketahui sebagai pemain film Perawan Desa yang saya tonton bersama ibu.

Drama nonton bioskop kali pertama belum selesai, sepulang dari nonton, motor yang kami naiki mogok. Kakak menuntun motor dan ibu mendorong di belakang, sementara saya --bersikeras turun-- dipaksa untuk tetap duduk di motor.

Kalau sedang bernostalgia --melalui sambungan telpon-- saya dan ibu tersenyum mengingat kisah nonton di bioskop Mahendra ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun