Pun biasanya, kalau anaknya sakit, ibu paling hanya memberi iming-iming  membelikan makanan kesukaan anaknya. Kalau anaknya sehat, akan dibelikan bakso Pak Gambleh (bakso paling terkenal lezat di kota kabupaten), atau dibelikan tepo tahu (makanan khas Jawa Timur).
Sakit di badan, belum sepenuhnya hilang. Persentasenya kira-kira tinggal 10 persen lagi badan baru bisa pulih seperti sediakala.
"Ayo, siap-siap," ajak ibu usai salat magrib.
Meski saya tidak terlalu bersemangat, tetap saja ibu langsung mengganti baju yang saya pakai dengan kaos lebih bagus.
"Kalau kamu hatimu seneng, pasti lekas sembuh," bujuk ibu sambil memakaikan jaket.
Semangat ini tak kunjung datang, terbukti sepanjang perjalanan --seingat saya-- mata ini langsung merem dan langsung tertidur. Sehinga saya tidak terlalu ingat bagimana detail peristiwa keberangkatan. Ketika terbangun saya sudah berada di dalam gedung bioskop.
Gedung Bioskop Mehendra, sebagai tempat nonton paling bergengsi kala itu, menjadi tempat di mana saya dan ibu menonton untuk kali pertama. Ya walaupun seumur-umur --sampai gedung ini tutup-- menonton di sini tak sampai terhitung jari.
Di dalam, saya tidak tahu sedang melihat film dengan judul apa, tidak kenal pemainnya siapa saja dan bagaimana jalan ceritanya. Kakak kedua saya --ternyata pernah nonton film ini di Surabaya-- juga tidak ikut masuk, memilih menunggu di luar bioskop.
Setelah masa jauh berlalu, baru saya ketahui alasan ibu bersikeras nonton. Rupanya, kakak nomor dua yang 'meracuni' pikiran ibu. Film Perawan Desa, diangkat dari kisah nyata. Seorang perempuan penjual telur, diperkosa anak seorang pejabat. Yati Surachman sebagai pemeran utama, kala itu sebagai pemain yang diperhitungkan--
Saat pemutaran film, mendadak perut saya mual bukan main. Badan terasa panas dingin, dan akhirnya -- saya ingat betul-- saya muntah di dalam gedung bioskop. Ibu tampak kerepotan, memijit-mijit belakang leher anaknya. Balsem andalan dikeluarkan.