Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kapan Sebaiknya Berhenti Diet?

31 Desember 2017   15:25 Diperbarui: 1 Januari 2018   10:15 1882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekitar delapan belas bulan, saya berusaha mengubah pola makan dan gaya hidup. Bagi saya pribadi dan mungkin kebanyakan orang, sebagai perjuangan yang cukup berat, karena musti melawan keinginan diri sendiri (baca ego). Berhasilkah? Sejauh ini jarum di timbangan badan semakin bersahabat.

Apa yang saya lakukan demi membakar lemak, benar-benar musti dibarengi usaha keras. Perihal makanan saja, saya musti menghindari (banyak) asupan favorit.

Aneka gorengan kegemaran, mulai dari bakwan dan tahu isi (saya suka kebayang wortel dan tepung yang digoreng agak gosong), pisang goreng, tempe tepung, ubi goreng, tempe mendoan dengan minyaknya yang agak-agak kebasah-basahan.

Semua jenis gorengan  favorit ini, dengan sangat berat hati dan penuh kesadaran musti dihindari. Padahal dulu, hampir tiada hari tanpa gorengan.

Belum lagi segala asupan yang manis-manis, seperti soup buah, es juice, es campur, martabak manis, es cendol, kue lopis dengan aneka campurannya, kue gemblong, roti bakar isi cokelat, bubur sumsum lengkap dengan candilnya.

Sungguh, asupan bertabur gula cair warna cokelat menggiurkan, sejatinya paling saya suka, tak kuasa untuk menahan hasrat meneguknya.

Nyaris semua makanan yang saya sukai, musti dikesampingkan dulu.  Menurut informasi yang didengar dan buku yang saya baca. Saya mengganti  konsumsi, dengan makanan yang diolah dengan cara direbus, diungkep, dikukus, dipanggang atau paling berat dibakar.

Alhasil, pilihan itu jatuh pada siomay, dim sum, jagung rebus, ubi rebus, singkong rebus, kacang kulit (disangrai), kacang rebus, sayur yang dikukus (biasanya bahan untuk pecel Madiun atau gado-gado) begitu seterusnya.  

Konsumsi buah sebagai pilihan tepat -dokpri
Konsumsi buah sebagai pilihan tepat -dokpri
Satu lagi, untuk ngemil saya lebih suka buah-buahan. Mengingat buah, paling gampang didapat dan dibeli dengan harga sangat terjangkau. Saya sampai punya tukang  buah langganan, kalau sewaktu-waktu stok buah habis.

Apakah saya sama sekali, tidak makan gorengan, tidak konsumsi nasi, atau makanan yang manis-manis.

Tentu tidak, saya hanya mengurangi dalam jumlah yang signifikan secara bertahap (namun konsisten).  Kalau biasanya, konsumsi makanan gorengan setiap hari, diganti dengan tiga hari sekali dengan porsi sedikit, demi menghilangkan rasa pengin.

Lama-lama, konsumsi gorengan seminggu sekali, dua minggu sekali, sebulan sekali, diusahakan sesuai kemampuan diri sendiri.

Sama sekali tidak makan nasi atau yang manis-manis, biasanya menyebabkan badan menjadi lemas. Bagaimananpun juga, tubuh kita tidak bisa lepas sama sekali dengan minyak atau gula.

Selain mengubah pola makan, tentu dibarengi dengan perubahan gaya hidup. Saya mulai membiasakan diri, untuk aktif bergerak dan mengurangi kebiasaan sedentary (gaya hidup dimana seseorang kurang dalam aktivitas fisik).

Jika sebelumnya saya punya kebiasaan pergi ke mana pun dengan motor, mulai diubah dengan naik transportasi massal dan banyak jalan kaki. Membiasakan diri, berjalan kaki kalau ke warung untuk sekedar beli ini dan itu. Kalau sedang di rumah, saya tak segan untuk ikut turun tangan membantu pekerjaan istri. 

Bepergian dengan transportasi massal -dokpri
Bepergian dengan transportasi massal -dokpri
-0o0-

Oke, sekitar satu setengah tahun, semua usaha terlampaui. Selain masalah bobot badan, tentu ada dampaknya bagi kesehatan.

Saya kalau kecapekan, badan minta dikerokan (biasanya) dua atau tiga minggu sekali. Kini kebiasaan itu mulai bergeser, bahkan pernah dalam tiga bulan tidak kerokan.

Sebelumnya lari sedikit saja langsung ngos-ngosan, biasanya kalau mengejar jadwal kereta atau commuter line. Sekarang, nafas lumayan panjang kalau dipakai lari. Bahkan saya sengaja, lari atau jalan terburu-buru, meski sedang tidak mengejar kereta atau Bus TransJakarta.

Kalau berat tubuh sudah (katakan) mendekati ideal, apakah musti stop diet?

Minggu pagi, saya baru menyimak sebuah vlog tentang diet. Menurut narasumber dalam vlog tersebut, kalau pelaku diet sudah mencapai hasil ditargetkan, sebaiknya segera coret kata diet, ubah menjadi healthy lifestyle (gaya hidup sehat).

Kalau diet sudah menjadi bagian dari gaya hidup, maka tidak ada kata berhenti. Karena menjalaninya, bukan lagi dengan terpaksa, tetapi sangat enjoy atau menikmati proses tersebut.

Kita memilih untuk mengonsumsi makanan yang sehat, kita aktif bergerak, semua dijalani sebagai kebiasaan. Gol yang hendak dicapai bukan lagi berat badan ideal, tetapi badan  yang sehat.

Maka kalau badan sehat, langsing atau berat badan ideal akan ikut dengan sendirinya (baca bonus). So, pertanyaan "kapan kita berhenti diet ?" Sebaiknya itu diubah, "Kapan mencoret kata diet?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun