Lama-lama, konsumsi gorengan seminggu sekali, dua minggu sekali, sebulan sekali, diusahakan sesuai kemampuan diri sendiri.
Sama sekali tidak makan nasi atau yang manis-manis, biasanya menyebabkan badan menjadi lemas. Bagaimananpun juga, tubuh kita tidak bisa lepas sama sekali dengan minyak atau gula.
Selain mengubah pola makan, tentu dibarengi dengan perubahan gaya hidup. Saya mulai membiasakan diri, untuk aktif bergerak dan mengurangi kebiasaan sedentary (gaya hidup dimana seseorang kurang dalam aktivitas fisik).
Jika sebelumnya saya punya kebiasaan pergi ke mana pun dengan motor, mulai diubah dengan naik transportasi massal dan banyak jalan kaki. Membiasakan diri, berjalan kaki kalau ke warung untuk sekedar beli ini dan itu. Kalau sedang di rumah, saya tak segan untuk ikut turun tangan membantu pekerjaan istri.Â
Oke, sekitar satu setengah tahun, semua usaha terlampaui. Selain masalah bobot badan, tentu ada dampaknya bagi kesehatan.
Saya kalau kecapekan, badan minta dikerokan (biasanya) dua atau tiga minggu sekali. Kini kebiasaan itu mulai bergeser, bahkan pernah dalam tiga bulan tidak kerokan.
Sebelumnya lari sedikit saja langsung ngos-ngosan, biasanya kalau mengejar jadwal kereta atau commuter line. Sekarang, nafas lumayan panjang kalau dipakai lari. Bahkan saya sengaja, lari atau jalan terburu-buru, meski sedang tidak mengejar kereta atau Bus TransJakarta.
Kalau berat tubuh sudah (katakan) mendekati ideal, apakah musti stop diet?
Minggu pagi, saya baru menyimak sebuah vlog tentang diet. Menurut narasumber dalam vlog tersebut, kalau pelaku diet sudah mencapai hasil ditargetkan, sebaiknya segera coret kata diet, ubah menjadi healthy lifestyle (gaya hidup sehat).
Kalau diet sudah menjadi bagian dari gaya hidup, maka tidak ada kata berhenti. Karena menjalaninya, bukan lagi dengan terpaksa, tetapi sangat enjoy atau menikmati proses tersebut.