Masih ada waktu satu jam, sampai terdengar adzan subuh kedua. Jamaah dipersilakan masuk kamar masing-masing, sejenak melempengkan badan, sekaligus bersih-bersih sekedarnya.
Ibu, adalah nama yang selalu saya sebut, dalam setiap doa panjang di tempat-tempat mustajab. Wajah ibu (juga wajah anak-anak dan istri), selalu lekat di pikiran, setiap melantunkan pengharapan sepenuh hati.
Melihat pedagang perempuan berkulit hitam, memajang hiasan dinding gambar Masjidil Haram, mengingatkan saya pada hiasan yang terpasang di dinding rumah.
"Lima Belas Riyal," ujar si penjual.
"Sepuluh," balas saya.
Sembari membuka dua telapak tangan, membentangkan semua jari-jari ini. Si penjual menggeleng, kemudian saya berlalu.
Sikap saya menjauh pergi, tidak ditanggapi. Penjual hiasan dinding tetap bergeming, sama sekali tidak kawatir, kalau saya tidak jadi membeli.
Hanya beberapa langkah kaki terayun, saya berbalik badan, kemudian mengajukan penawaran balik.
"Sepuluh riyal, please," saya memasang muka penuh harap.
"Dua, Duapuluh lima riyal , " balasnya.