Transaksi selesai, ibu meneruskan perjalanan menuju penginapan. Barang yang dibeli ibu, oleh-oleh untuk anak-anaknya. Berharap, kelak di setiap rumah anak-anaknya, terpasang cindera mata pemberiannya.
Di permukaannya, terdapat gambar Masjid mulia. Saya merasakan, hembusan doa seorang ibu di atas hiasan dinding ini. Doa perempuan berhati samudra, mengharapkan anak-anaknya, menginjakkan kaki di tanah kelahiran para Nabi.
Saya masih ingat, bagaimana perubahan air muka perempuan sepuh ini. Setiap mengisahkan pengalaman berhaji, wajah berkerut mendadak berseri-seri. Tidak lupa sama sekali, bahkan hapal setiap jengkal kejadian di tanah suci.
Masih saja, ada rasa tidak percaya terselip. Bahwa seorang perempuan kampung, yang hanya lulusan SD, ternyata bisa naik Haji.
"sampai sekarang, Ibu masih gak percaya, bisa sholat di depan Ka'bah"
Suara  itu berubah parau, ketika berbagi cerita di ruang tengah rumah si bungsu. Ibu, termasuk satu dari sedikit orang di kampung, yang telah menunaikan rukun islam kelima.
"Iki, oleh-olehe ibu, pasangen di rumahmu yo le..!" pesannya kala itu.
Enam anaknya sudah dewasa, tinggal di rumah berbeda. Masing- masing mendapat satu hiasan dinding, buah tangan tak ternilai harganya.
Hiasan dinding bergambar Masjidil Haram, kalau dirupiahkan senilai sekitar 45 ribu per lembar. Bagi sebagian kita, mungkin tidak terlalu mahal. Namun perhatian dan rasa sayang ibu, tidak tergantikan oleh apapun dan siapapun.
Di usia mendekati 72 tahun, ibu dilarang anak-anaknya pergi jauh. Â Apalagi, penyakit ibu pernah kambuh, sempat diopname beberapa hari di RSUD. Sejak saat itu, ibu lebih sering menghabiskan waktu di rumah.