Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ekspresikan Rasa Sayang pada Anak Sesuai Tahapannya

13 Desember 2017   08:14 Diperbarui: 13 Desember 2017   10:39 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak menjadi ayah, saya cukup keranjingan membaca buku tema parenting. Beberapa judul buku, sengaja saya beli kemudian dikoleksi, bahkan ada yang dibaca berulang-ulang.

Pun kalau ada acara seminar, talkshow dan sejenisnya, mengetengahkan tema keluarga. Dengan sigap saya mendaftar,  demi memuaskan keingintahuan tentang ilmu pengasuhan.

Tidak berhenti sampai di situ, saya dan istri kerap berdiskusi tentang pola asuh. Kerap berbagi pengetahuan di rumah, setelah menimba ilmu di forum ini dan itu atau mendapati pengalaman unik.

Ada cerita menarik dikisahkan istri, sebuah kejadian di rumah makan. Kisah yang sangat keseharian,  terjadi ketika istri dan anak-anak, sedang makan siang di sebuah rumah makan.

Bersamaan itu, datang sekelompok ibu dengan anak -anak yang masih berseragam Sekolah Dasar. Kelompok ibu dan anak, rupanya baru pulang dari satu kegiatan, kemudian mampir untuk makan siang.

Kebetulan, istri kenal dengan salah satu ibu dalam kelompok tersebut. Namanya juga saling kenal, sudah pasti menyapa dan berhaha- hihi seperlunya.

Seperti pada umumnya, kalau kita datang ke rumah makan. Melihat-lihat menu, kemudian memesan makanan dan minuman yang diinginkan. Semenit dua menit berjalan, satu persatu pesanan datang. Biasanya minuman, lebih dulu datang ke meja.

Sekitar lima menit, satu persatu makanan menyusul. Namun, rupanya ada satu anak, pesanannya belum diantar pelayan. Sementara, teman lain --yang pesan lebih akhir dengan menu sama, sudah diantar oleh pelayan. 

Entah, si pelayan kelupaan atau sedang banyak pikiran atau bagaimana. Yang pasti saya yakin, kejadian ini, pasti tidak ada unsur kesengajaan.

Sontak, ada ibu setengah teriak, --ibu ini kebetulan kenal dengan istri. Masih dalam posisi duduk, ibu ini memasang muka jutek, menyalah-nyalahkan pelayan rumah makan.

Tentu, si pelayan ( yang baru sadar) merasa bersalah. Dengan cekatan, segera menyajikan pesanan anak yang kelewatan. Ibu lain -- yang anaknya pesan belakangan dilayani lebih dulu, merasa tidak enak juga.

"Aduh, maaf ya, tahu gitu tadi makanan ini buat si ganteng"

Kompasianers, apa yang terjadi berikutnya.

Lelaki puber dengan badan gempal berkulit gelap --yang dibela ibunya, mukanya merah padam --mungkin menahan marah dan malu.

Air mukanya berubah, dengan Sekuat tenaga, menahan ngembeng yang sudah muncul di bola mata. Makannya terkesan ogah-ogahan, hanya beberapa suap saja dan tidak dilanjutkan.

"ABANG ! Lihat, jadi hilang selera makan" si ibu masih ngomel ke pelayan.

-0-

Membina kedekatan ayah dan anak -dokpri
Membina kedekatan ayah dan anak -dokpri
Saya pernah membaca, tentang masa tumbuh kembang anak. Ada tiga fase masa tumbuh kembang anak, lazimnya dibagi per-tujuh tahun.

Tahapan golden age(usia emas) pertama, ketika anak usia nol sampai tujuh tahun. Tahap kedua, tujuh sampai empat belas tahun. tahap ketiga, sampai anak umur duapuluh satu tahun. Setelah itu, anak sudah masuk kategori dewasa.

Setiap tahapan, kebutuhan proteksi orang tua pada anak juga berbeda-beda. Pada tahapan pertama, bisa jadi keterlibatan orang tua, berkisar di rentang 70 s/d 100 %  orang tua memproteksi anak.

Coba perhatikan, saat masih bayi, nyaris seratus persen anak tergantung pada ayah ibunya. Dari bangun pagi sampai tidur lagi, nyaris semua kebutuhan anak dikerjakan ibunya.

Semakin bertambah umur si anak, tingkat ketergantungan itu akan berkurang. Sebagai orang tua, kita musti menyadari hal ini. Ayah dan ibu, musti bersedia membuka wawasan, agar bisa memperlakukan anak sesuai usianya.

Saya sendiri sempat kaget,  di depan sekolah saat mengantar anak saya --kelas satu SD. Kala itu, gadis kesayangan, menepis saat hendak saya cium pipinya.

Saya baru menyadari, rupanya anak ini sudah punya rasa malu, dicium ayahnya didepan teman-teman. Untung saya segera tahu diri, cukup mengulurkan tangan, kemudian ujung hidung gadis mungil itu, dipertemukan dengan punggung tangan ayahnya.

-0-

setiap fase anak kebutuhannya berbeda- dokpri
setiap fase anak kebutuhannya berbeda- dokpri
Keesokkan hari, ibu yang membela anak di rumah makan, berkesah pada istri. Sampai di rumah, gantian anaknya ngomel-ngomel pada ibunya.

Anak usia duabelas tahun ini, menjelaskan alasan sikap yang terjadi di rumah makan. Penyebab matanya ngembeng, makan ogah-ogahan bahkan tidak habis, justru disebabkan polah ibunya.

Pembelaan si ibu --padahal tujuannya baik, ternyata tidak pas waktunya. Justru membuat anak ini malu, di hadapan teman-temannya. Dia merasa, pesanan datang telat itu termasuk hal remeh.

Tidak semestinya, ibu sewot dan membelanya. Rasa gengsi sebagai lelaki, sepertinya terusik dengan sikap pembelaan si ibu di depan teman-teman sekelas. Anak berkulit hitam manis ini, protes dan tidak mau terlihat cemen.

Ayah dan bunda, sangat wajar kita mencintai dan menyayangi anak-anak. Tapi kalau porsinya tidak pas, justru dampaknya akan tidak baik.

So, menjadi orang tua, memang seperti sekolah, tapi tidak tahu kapan selesainya. Yuk, sama- sama belajar, menjadi orang tua yang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun