Saya sendiri sempat kaget, Â di depan sekolah saat mengantar anak saya --kelas satu SD. Kala itu, gadis kesayangan, menepis saat hendak saya cium pipinya.
Saya baru menyadari, rupanya anak ini sudah punya rasa malu, dicium ayahnya didepan teman-teman. Untung saya segera tahu diri, cukup mengulurkan tangan, kemudian ujung hidung gadis mungil itu, dipertemukan dengan punggung tangan ayahnya.
-0-
Anak usia duabelas tahun ini, menjelaskan alasan sikap yang terjadi di rumah makan. Penyebab matanya ngembeng, makan ogah-ogahan bahkan tidak habis, justru disebabkan polah ibunya.
Pembelaan si ibu --padahal tujuannya baik, ternyata tidak pas waktunya. Justru membuat anak ini malu, di hadapan teman-temannya. Dia merasa, pesanan datang telat itu termasuk hal remeh.
Tidak semestinya, ibu sewot dan membelanya. Rasa gengsi sebagai lelaki, sepertinya terusik dengan sikap pembelaan si ibu di depan teman-teman sekelas. Anak berkulit hitam manis ini, protes dan tidak mau terlihat cemen.
Ayah dan bunda, sangat wajar kita mencintai dan menyayangi anak-anak. Tapi kalau porsinya tidak pas, justru dampaknya akan tidak baik.
So, menjadi orang tua, memang seperti sekolah, tapi tidak tahu kapan selesainya. Yuk, sama- sama belajar, menjadi orang tua yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H