Layaknya blitz kamera, membuat warga kaget, berhimpun di teras. Mendung telah berubah, menumpahkan air sangat rapat. Pelataran, pekarangan, pepohonan dan tanaman di kebun gizi, disirami tanpa ampun.
Perkiraan kami salah total, di tengah deras, pesawat capung memaksa merapat ke tanah lapang. Baling-baling terus berputar, mengiris-iris jatuhnya air hujan.
Sang pilot tak keluar, rupanya enggan beranjak dari duduk. Kami bertatap pandang, tangan kanan memegang kemudi diangkat, memberi isyarat.
"Ya. Tiba saatnya, Kami benar-benar pulang."
Tak peduli hujan, warga berlarian, mengangkat bawaan kami ke dalam pesawat. Baju, celana, tubuh mereka kuyub, tak ubahnya seperti kami.
Satu persatu team NS, mengisi kursi demi kursi kosong. Bapa, mama dan anak-anak, masih bertahan di dekat pintu pesawat yang sudah ditutup.
"O'ya Saya ingat".
Sudah menyiapkan beberapa bungkus mie instan, sebagai upah angkat barang. Pintu pesawat yang baru ditutup, dikuakkan sedikit, sembari mengulurkan barang, yang kerap warga ingini.
Uluran itu, tidak disambut. Mereka menggeleng perlahan, sejenak berikutnya melambaikan dua tangan. Air hujan terus mengguyur, membuat kami kesulitan memastikan, apakah bola mata bersahaja itu telah basah.
Sementara, kami bertuju tak mampu membendung pertahanan. Gemuruh di dada, pecah juga, air bening mengaliri pipi kami.
Perlahan, baling-baling mengangkat pesawat mengudara. Deras hujan, sederas isak tujuh anak muda team NS. Tangan kami membalas lambaian.