Ayah bunda pernah gak mengalami, saat asyik pegang handphone terus diajak ngobrol buah hati. Orang tua lagi seru-serunya chatting, membahas kejadian penting yang terjadi di lingkungan. Bagaimana ga penting, kalau di wilayah RW mulai ada yang kehilangan kendaraan.
Tiba- tiba buah hati datang, menyela dengan cerita kejadian dialami di sekolah. Cerita anak anak yang tidak terlalu penting, tentang teman sebangku atau sekelasnya.
Apa yang ayah bunda lakukan?
Membiarkan anak bercerita, sementara mata kita tetap fokus ke layar smartphone. Telinga sih mendengar kata yang diucapkan, tapi dijamin hanya lewat sekilas.
Apa yang disampaikan anak tidak disimak, suara dari mulut mungil  yang nyerocos ibarat angin sedang berlalu. Sesekali menjawab 'iya', 'iya', tapi lebih sering gak nyambung.
'Bener ga?' Kalau benar berarti kita sama --hehehe.
Saya dulu pernah menganggap, masalah anak kurang begitu penting dan tidak menjadi prioritas. Masalah mereka masih relatif sepele, kalau ditakar seperti remahan-remahan apalah---apaan sih hehehe.
Seputar pulpen dipinjam teman, kemudian tidak dikembalikan akhirnya hilang. Buku tulis ketinggalan dikelas, besoknya sudah tidak ada di tempat.
Atau disuruh guru mengerjakan ini dan itu, atau alat tulis yang patah karena keinjak temannya, begitu seterusnya dan seterusnya.
Anak memiliki dunia di pikirannya sendiri, harus dipandang dari sudut pandang pemikiran anak anak. Kita para orang tua, tidak boleh egois dan menganggap remeh.
Pulpen seharga sepuluh ribuan yang hilang, pasti menjadi masalah besar buatnya. Bagi anak-anak yang belum bisa mencari nafkah, nilai sepuluh ribu adalah nilai yang tidak kecil. Kita tidak boleh main gampang, dengan memberi uang untuk membeli yang baru.