Sebagai bujangan, saya terbilang nihil pengalaman tentang berkeluarga. Tidak bisa menjawab apa-apa, apalagi memberi komentar macam macam. Â Memilih sikap sekedar memaklumi, selebihnya tak bisa berbuat banyak.
Kami wisuda setelah empat tahun kuliah, bersama merasakan beratnya perjuangan menuntut ilmu sembari kerja. Menjadi mahasiswa dengan prestasi rata-rata, nilai saya hanya cukup untuk syarat mendapatkan ijazah.
Satu kursi kehormatan 'Mahasiswa Berprestasi', ditempati satu teman focus kuliah tanpa bekerja. Anak ini memang rajin masuk kampus, semua nilai mata kuliah mendekati sempurna. Tapi, dua tiga bulan kelulusan, mahasiswa berprestasi masih bingung nglamar kerja.
-0o0-
Saya terpaksa meninggalkan kota Pahlawan, Â pindah ke Ibukota setelah tiga tahun lulus.
Kala itu, kami benar benar terputus hubungan. Hanya satu dua teman akrab, menyimpan nomor dan sesekali telepon atau SMS --jadul yak, hehe. Â Mustahil kami bisa bersua, Â apalagi berbeda kota dan kepentingan. Saling tak tahu menahu keberadaan, kemana jejak setiap teman melangkah.
Berkat kecanggihan jaman, lahirlah media sosial dan fasilitas chatting yang menghubungkan kami. Satu demi satu nama terdeteksi, meski harus mengingat sebentar akhirnya ketemu juga.
Akhirnya, terhubung teman lama tetangga kost. Pada group kampus saya dapati nomor WA, mencoba japri dan berbagi cerita. Rupanya, kebiasaan si teman bertahan sampai sekarang.
'Lha, kamu kan sudah punya anak istri otomatis kebutuhanmu bertambah'
Pertanyaan ini sontak terlontar, ketika mengingat ayah muda teman kuliah. Kalimat 'bagaimana kirim uang buat emak, buat keluarga sendiri saja kurang,' tiba tiba terngiang di telinga.