"Perang paling besar itu, adalah peperangan melawan diri sendiri."
-0o0-
Badan kerempengnya, dijadikan sansak hidup lelaki yang smestinya menjadi pelindungnya. Tamparan di pipi, pukulan di badan sudah biasa didapati. Kalaupun dia mencoba melawan, dijamin tenaganya tak bakal sanggup menandingi.
Pendengarannya mulai kebal, dengan kalimat caci dan merendahkan. Perangi tak bersahabat didapati, dirinya hanya bisa membalas dengan tangis dan air mata.
Sebagai manusia biasa, pasti ada saat tak kuasa menahan nestapa. Mencoba membalas sebisanya, meski tetap saja tak sebanding dengan akibat ditanggung.
"Dasar B*d*h" umpat si suami
"Kalau aku pintar, pasti tidak mau menjadi istrimu" balasnya menahan air mata
Tenaga lemah itu, tak sanggup mematahkan kekuatan otot lelakinya. Derai air mata dan isak tangis, tidak serta merta merubah keadaan. Sungguh nelangsa, penyesalan dirasa ibarat pepatah 'nasi sudah menjadi bubur.'
Meskipun rumah bagai neraka, keputusan menikah adalah keputusan besar yang diambil sendiri tanpa paksaan. Apapun konsekwensi dijalani, baginya pernikahan adalah satu hal yang musti dipertahankan.
Sapa sangka, keputusan bertahan justru menggandakan kesabaran. Ketiadaberdayaan dilakoni, justru menumbuhkan sikap pasrah seteguh karang. Perempuan ini menyakini, hukum kehidupan berlaku adil pada saat yang tepat.