Sikat dan pasta gigi diraih, tutup pasta dibuka sekenanya dipencet tanpa perhitungan. Alhasil odol tertuang luber, berceceran ke permukaan ubin kamar mandi.
Saya diam tak bereaksi, mengaku berada pada posisi yang salah. Melakukan pembelaan diri, justru menimbulkan masalah baru. Tanpa penjelasan detil, sebenarnya musabab kemarahan sudah diketahui. Si ayah “terpaksa” tidak menepati janji, gagal membawa pulang kebab untuk sebuah alasan.
Mulanya ayah dan anak membuat perjanjian, dengan catatan si anak hapal huruf hijaiyah. Kebab kesukaan menjadi jaminan, setelah huruf kunci kalam Illahi diucapkan dengan lancar. DEAL, dua tangan bersalaman tanda saling setuju.
Siapa sangka, perjanjian kecil ini memacu semangat. Dengan penuh ketekunan, huruf alif sampai Ya’ diucapkan diluar kepala dalam waktu tiga hari. Maka tak ada alasan bagi saya, menepati janji yang telah diikrarkan.
Membawa pulang makanan khas Turki, di dalamnya terdapat sedikit irisan tipis daging sapi panggang. Taburan keju diatas daun kol, ditimpa mayonais beradu saos sambal dan saus tomat. Campuran bahan menggugah selera, digulung tortilla kemudian dimasukkan dalam kertas minyak.
Pada hari yang ditentukan, saya ada acara mendadak dari kantor. Sebenarnya tak ada keharusan hadir, mengingat acara dimaksud refreshing atau sekedar nonton bioskop bareng. Terlihat beberapa rekan kerja pamit, nyatanya diberi ijin oleh pimpinan.
Saya bersikeras ikut acara nobar, hingga sekitar jam 20.00 baru bisa keluar dari bioskop. Belantara kemacetan ibukota, membuat perjalanan roda dua tersendat sendat. Mendekati pukul sembilan malam, bermaksud mampir tukang kebab namun sudah terlambat.
“sudah habis Pak. Besok saja kesini lagi”Ujar penjual kebab
Sesampai di rumah amarah bocah kecil muncul, alasan yang belum sempat dirangkai tak berlaku lagi. Kemarahan yang tak mampu dibendung, akibat keteledoran yang dibuat oleh si ayah. Janji tetaplah hutang, sekalipun disampaikan kepada anak sendiri.
-0o0-