Jangan salah sangka, kalimat dan kejadian serupa pernah saya alami sendiri. Jarum timbangan kala itu, sudah mendekati angka seratus. Tapi niat membuang lemak, hanya sekedar niat berhenti diujung mulut. Entahlah, sulit sekali merubah kebiasaan yang berlangsung bertahun-tahun.
Mungkin setiap kita sangat membutuhkan, satu moment yang benar-benar membalikkan paradigma. Moment untuk memperkuat tekad, sekaligus melibas segala alasan yang membuat bimbang.
Ketika mengikuti sebuah lomba menulis, diadakan klinik penurunan berat badan. Untuk kepentingan penulisan, saya medatangi klinik melakukan observasi. Dengan perlakuan layaknya seorang pasien, saya mengikuti serangkaian prosedur.
Hingga sesi konsultasi dengan dokter, membuat jantung ini berdegub kencang. Saya masih ingat, saat di USG persis seperti ibu sedang hamil. Setelah itu selembar foto diprint, dokter menjelaskan gambar hitam putih.
Dari selembar foto, ditunjukkan bagaimana bahaya jika terjadi pelemakan. Kalau saja ginjal atau hati diselimuti lemak, tandanya diri musti waspada. Indikasinya sangat mudah, satu dari dua organ tersebut warnanya lebih putih.
Beruntung semua baik-baik saja, namun rasa was was tidak langsung sirna. Pikiran ini seperti terpaut, pada kalimat “pelemakan” yang diucapkan dokter di klinik. Tak ada jalan lain, kecuali diri sendiri merubah gaya hidup dan pola konsumsi makanan.
Sesi konsultasi dengan ahli nutrisi, benar-benar laksana oase yang memberi pencerahan. Pikiran ini langsung terbuka, tentang makanan jahat dan yang ramah bagi badan. Bagiamana mengatur konsumsi makanan, sehingga bisa dicerna dengan baik. Sehingga tidak menimbun di badan, alhasil dibuang dalam bentuk kotoran.
“Saya musti berubah”, bisik benak ini membulat.
Pusat kinerja manusia, tidak lain dan tidak bukan adalah otak. Manusia ditasbihkan sebagai makhluk mulia, karena memiliki akal pikiran. Mahluk lain tidak memiliki akal, sehingga tidak bisa mengelola ego.