Sembilan tahun tinggal di Surabaya, tak ada alasan bagi saya tidak pernah menyantap rujak cingur. Saat masih tinggal di kota Pahlawan, saya punya langganan di beberapa tempat. Seorang ibu penjual rujak cingur, berjualan di teras rumah daerah Sukodono Sidorajo. Satu tempat lagi kerap saya sambangi, berada tak jauh dari terminal Bratang—jadi kangen kos-kostan.
Makanan tradisional surabaya ini bersahabat di kantong, dengan mudah bisa dibeli di banyak lokasi. Mulai penjual di kampung kumuh, di pinggir jalan sampai pusat perbelanjaan modern. Kompasianer bisa menyesuaikan selera, setiap tempat memiliki patokan harga masing masing.
Penampilan rujak cingur didominasi warna gelap, tapi kalau sudah mencicipi dijamin ketagihan. Nama cingur, diambil dari salah satu bahan makanan khas ini. Cingur atau dalam bahasa jawa mulut, adalah moncong sapi yang sudah direbus. Dengan tekstur sedikit kenyal, namun mengundang sensasi saat menguyahnya.
Irisan cingur semakin nikmat, setelah dicampur irisan buah seperti krai rebus (sejenis timun), bengkuang, nanas, mangga muda, kedondong. Sekilas memang mirip rujak buah, namun tak sembarang buah dijadikan campuran. Menurut saya, buah dengan rasa manis kurang cocok.
Berikutnya ditambah irisan tempe dan tahu goreng, serta sayuran dikukus seperti kecambah (toge), kangkung dan kacang panjang.
Bumbu menjadi kunci dari rujak cingur, menggunakan petis atau olahan dari udang. Petis adalah bahan berwarna pekat, musabab penampilan rujak cingur begitu gelap. Konon petis yang paling enak dan “nendang”, adalah petis yang berasal dari tempat asalnya yaitu kota udang alias Sidoarjo.
Kelak saya membuktikan kalimat ini, melalui penjual rujak cingur langganan di Cilandak Jakarta Selatan. Rupanya si penjual berasal dari Jawa Timur, memesan khusus dalam jumlah banyak. Petis yang dibuat di kota selain Sidoarjo, biasanya tastenya relatif ngambang atau tidak medhok (seperti logat jawa).
Makanya beberapa orang ada yang menyebut, rujak cingur dengan sebutan lain rujak petis. Sebenarnya sama saja, makanan yang dimaksud tidaklah berbeda. Rujak cingur yang rujak petis, kedua bahan disebut memang ada dalam sajian makanan ini.
Bumbu utama petis kemudian dicampur, dengan gula merah, cabe, kacang tanah goreng, parutan pisang biji hijau muda (gedang kluthuk), garam, tentu saja air secukupnya untuk mengencerkan.
Semua bahan diulek dengan cobek batu, biasanya berbentuk bundar dan lebar. Kompasianer bisa bayangkan, layaknya penjual kredok atau gado gado khas Jakarta.
Sebagai campuran makanan utama, pembeli bisa memilih lontong atau nasi putih. Sebelum disajikan, nikmat ditaburi bawang goreng. Penampilan rujak cingur semakin sempurna, bersama krupuk bundar warna putih di atasnya.
Rujak cingur bisa disajikan biasa atau matengan, semua tergantung selera pembelinya. Rujak cingur biasa adalah campuran bahan tersebut di atas, sedang matengan tinggal dikurangi irisan buah. Ada orang kurang suka, irisan buah dicampur dalam rujak cingur. Syah saja, setiap orang bebas menentukan pilihan.
Khususnya yang kerap ke Bintaro dan sekitarnya, coba anda bergeser ke ruko daerah Kebayoran Arcade. Untuk sebuah keperluan saya sempat singgah, tak menyangka menemukan menu klangenan ati. Menilik nama tempat bernama btavia, sekilas identik dengan menu khas Betawi tapi ada rujak cingur juga.
Dari sepiring rujak cingur, mampu mengobati rindu tanah rantau Surabaya. Kangen teman kampus dan kantor lama, teman satu kost pernah berantem dan sering bercengkrama. Semoga sehat selalu – amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H