Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Semestinya Seorang Ayah

26 Januari 2017   14:03 Diperbarui: 26 Januari 2017   14:23 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ayah pekerja keras -dokpri

Langkah lelaki sederhana itu, mengayun terukur perlahan tapi pasti. Seolah dua kaki bisa bergerak konstan, terkesan tanpa bergegas namun waktunya pas. Sehingga sampai tujuan sesuai pekiraan, tidak terlambat masih ada sejenak waktu istirahat.

Enam kilometer jarak ditempuh pagi dan siang, merentang pematang sawah lintas desa dilakoni. Udara bening pagi beriring hangat matahari, menyapu hijau ujung daun padi sebagian menguning. Pun kepala terpanggang terik, ketika perjalanan pulang menjadi penyempurna ikhtiar.

Fenomena alam menciptakan pemandangan indah, sungguh melenakan lelah sepanjang perjalanan. Sayangnya banyak diantara manusia abai, tak mindfull dan selaras dengan alam dan kehidupan.

Lelaki paruh baya ini tak terlalu banyak cakap, pada anak bicaranya pelan nyaris tak terdengar. Kerap kali saya anaknya minta diulang dua kali, memperjelas apa yang sampaikan.

Kalimat "Iyaaa" pada huruf A dipanjangkan, dengan tekanan tanpa emosi menjawab keinginan anaknya. Kalau tidak sanggup memenuhi permintaan anaknya, biasanya diam atau mengalihkan pembicaraan. saya sampai hapal kebiasaan ini, sampai memutuskan untuk satu hal. Kalau minta sesuatu barang, lebih baik memohon kepada ibu.

Ayah punya cara unik, untuk mengabulkan permintaan anaknya. Kalau keuangan sedang tidak memungkinkan, maka digunakan cara kreatif menyesuaikan kemampuan. Agar tetap mengembang senyum buah hati, menjadi bekal menghadapi hari ke hari.

-o0o-

Siang itu saya tergoda, seragam silat seperti dipakai teman saat berlatih. Kegiatan baru saya ikuti, setiap minggu pagi di lapangan badminton sebelah kantor kecamatan. Saat teman lain berbaju putih putih, hanya dua anak yang berpenampilan berbeda.

Saya dan kakak terpaut usia dua tahun. Hanya mengenakan kaos olah raga dan celana pendek. Kaos warna putih, bertulis nama sekolah dasar di bagian punggung. Pada bagian lengan berwana biru, dengan sleret putih sebagai pemanis.

Dua kali latihan saya dan kakak berusaha menahan diri, tetap berlatih jurus dan gerakan dasar silat. Sebagian teman memaklumi keberadaan kami, namun teman lain ada yang mempersoalkan.

"Kaos olah raga itu, gak cocok dipakai silat"

"Kalau belum punya seragam, ya jangan daftar" sahut teman lain

"Heeeh, sudah-sudah" pelatih silat membela kami.

Lama-lama cukup mengusik batin, serta kenyamanan saat berlatih. Latihan minggu ketiga saya absen, kakak memaksa ikut meski tetap berkaos olah raga.

“Pak…, aku belum punya seragam silat"ujar saya hati-hati "Malu.., teman lain sudah pakai baju putih- putih".

Lelaki itu mengarahkan pandangan pada buah hati, raut wajah itu seperti menyimpan sesuatu. Kemudian nafas panjang ditarik dilepas dalam hitungan detik, terdengar hembusan itu sampai di telinga.

nanti yo, le

Keesokan hari saya melihat, ibu membawa karung bekas tempat tepung terigu. Karung yang diambil dari warung kecil tempat jualan ibu, setelah isi terigu di dalamnya dibungkus plastik kiloan. Terhitung ada delapan karung, rupanya saya dan kakak masing masing mendapat jatah empat.

Sampai rumah langsung direndam cuci, entah sampai berapa kali rendam cuci, terakhir dijemur setelah dirasa bersih. Sebersih apapun karung bekas terigu, warna putih kecoklatan tetap saja tampak. Tekstur kain yang kasar tak bisa dihilangkan, memang fungsi aslinya ya untuk karung terigu, bukan bahan membuat pakaian.

"Sini, badanmu diukur"

Saya dan kakak merapat, berdiri tak jauh dari kursi tempat duduk ayah. Mesin jahit lama dibuka penutupnya, siap difungsikan kembali. Kelak pada usia SMA, saya bisa menggunakan mesin jahit ini untuk membuat baju sendiri.

Sekitar tiga hari ayah berjibaku, sore hari sepulang mengajar dan istirahat. Dada ini berdegup kencang, setelah melihat penampakan calon seragam silat. Sementara kakak biasa saja, tak terlalu antusias tapi peduli. Pada sore hari ketiga, sabuk putih sedang dijahit, artinya sebentar lagi siap dipakai.

"Sudah jadi seragamnya, sini cobaen"

Saya tersenyum sembari membayangkan, betapa pantas tubuh ini memakai seragam putih-putih. Latihan silat hari minggu depan, sudah berpakaian sama dengan teman lainnya.

Gagah tho, koyo pendekar Gunung Lawu”  celetuk ibu.

Sungguh hati membumbung, mendengar puja puji ibu dan sumringah wajah ayah. Tapi masalah kecil mengusik, gambar cap tepung pada bagian punggung cukup mengganggu.

"Gak apa-apa, nanti kalau sering dipakai dan dicuci lama-lama hilang" hibur ibu

Masalah seragam akhirnya selesai, sekali dua kali cap terigu dibahas teman yang usil. Namun pada latihan ketiga semua berjalan lancar, saya dan kakak percaya diri memakai seragam silat dari karung terigu.

Ayah pekerja keras -dokpri
Ayah pekerja keras -dokpri
Dalam segala keterbatasan, ayah bisa menciptakan bahagia untuk anak-anaknya. Meski tidak selalu sempurna, namun upaya dan kerja keras itu melebihi sekedar hasilnya. Setelah almarhum ayahanda berpulang, kisah-kisah sederhana ini bak mutiara.

Mengilhami saya, yang kini sudah menyandang predikat ayah. Untuk memberi persembahan terbaik, dengan upaya terbaik pula untuk anak-anak. Sudah smestinya seorang ayah, mempersembahkan bahkan dirinya untuk kebahagiaan anak dan istrinya. -salam-   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun