"Kalau belum punya seragam, ya jangan daftar" sahut teman lain
"Heeeh, sudah-sudah" pelatih silat membela kami.
Lama-lama cukup mengusik batin, serta kenyamanan saat berlatih. Latihan minggu ketiga saya absen, kakak memaksa ikut meski tetap berkaos olah raga.
“Pak…, aku belum punya seragam silat"ujar saya hati-hati "Malu.., teman lain sudah pakai baju putih- putih".
Lelaki itu mengarahkan pandangan pada buah hati, raut wajah itu seperti menyimpan sesuatu. Kemudian nafas panjang ditarik dilepas dalam hitungan detik, terdengar hembusan itu sampai di telinga.
“nanti yo, le”
Keesokan hari saya melihat, ibu membawa karung bekas tempat tepung terigu. Karung yang diambil dari warung kecil tempat jualan ibu, setelah isi terigu di dalamnya dibungkus plastik kiloan. Terhitung ada delapan karung, rupanya saya dan kakak masing masing mendapat jatah empat.
Sampai rumah langsung direndam cuci, entah sampai berapa kali rendam cuci, terakhir dijemur setelah dirasa bersih. Sebersih apapun karung bekas terigu, warna putih kecoklatan tetap saja tampak. Tekstur kain yang kasar tak bisa dihilangkan, memang fungsi aslinya ya untuk karung terigu, bukan bahan membuat pakaian.
"Sini, badanmu diukur"
Saya dan kakak merapat, berdiri tak jauh dari kursi tempat duduk ayah. Mesin jahit lama dibuka penutupnya, siap difungsikan kembali. Kelak pada usia SMA, saya bisa menggunakan mesin jahit ini untuk membuat baju sendiri.
Sekitar tiga hari ayah berjibaku, sore hari sepulang mengajar dan istirahat. Dada ini berdegup kencang, setelah melihat penampakan calon seragam silat. Sementara kakak biasa saja, tak terlalu antusias tapi peduli. Pada sore hari ketiga, sabuk putih sedang dijahit, artinya sebentar lagi siap dipakai.