Perjalanan menjadi dan sebagai ayah, ibarat petualangan dalam kehidupan. Setiap kejadian sekecil apapun bersama anak dan atau istri, sejatinya menjadi peluang pembelajaran bagi ayah.
Dalam ranah pengasuhan, rentang usia anak 0 - 7 tahun adalah satu masa yang disebut golden moment. Pada usia anak-anak inilah, saat terbaik menanamkan banyak hal pada buah hati.
Proses membangun kedekatan, bisa dimulai ayah saat janin masih bersemanyam di rahim ibunda. Kemudian berlanjut setelah permata hati hadir di alam fana, memberi persembahan dan sikap terbaik. Niscaya pada usia emas ini dampaknya manjur, menjadi pondasi sikap bagi kehidupan anak-anak di masa mendatang.
Penanaman karakter anak, akan terasa efektif dengan dicontohkan tidak sekedar dinasehatkan saja. Anak merekam apa yang dia lihat, sedangkan yang dia dengar relatif cepat hilang.
Seperti pengin punya anak yang rajin sholat, sebagai ayah mestilah tegak menunaikan sholat lima waktu. Mustahil bagi ayah pengabai kewajiban ibadah, berharap anaknya sregep dan khusyu mendirikan sholatnya.
"Al Ummu Madrasatul Ulla" ibu (juga ayah tentunya) adalah madarasah pertama bagi anak, orang tua adalah guru sejati bagi anak-anaknya. Ayah dan ibu, adalah orang yang menjadi tumpuan anak-anak. Jadi tak cukup orang tua, sekedar mengirim anak ke sekolah agama unggulan. Kemudian mengharap output, si anak akan berbudi dan berakhlak baik.
Proses peneladanan ayah dan bunda dari rumah, menjadi sepenuh bekal anak dalam menempuh badai kehidupan mereka sendiri. Kelak akan tiba saatnya, anak-anak lepas dari pelukan orang tua. Mereka meniti jalan hidup sendiri, jalan kehidupan yang ditempuh tanpa pendampingan orang tuanya.
Menjadi Ayah Pembelajar
Setiap kali membincang tentang anak, saya selalu merasa masih sangat perlu banyak belajar dan belajar. Karena tak bisa dipungkiri, peran ayah memiliki intervensi pada tumbuh kembang anak pada tahap golden moment-nya.
Sebagai ayah saya siap membuka diri, terhadap pengetahuan untuk menjadi ayah hebat. Peran ayah adalah kepala keluarga dan nahkoda, saya selalu berusaha menunjukkan sikap terbaik. Â Tidak mudah menghamburkan kalimat kasar, apalagi berlaku ringan tangan pada istri terlebih pada anak-anak. Sebagai seorang ayah saya belajar rela dan merelakan diri, membuang jauh ego demi kebaikan anak pun istri.
Membaca, itu kuncinya !
Sejak menikah dan memiliki anak, buku genre parenting masuk daftar prioritas bacaan. Sampai saya menemukan satu kisah menghunjam kalbu, saya sendiri sangsi apakah kisah ini bisa saya lupakan.
Beberapa kali saya pernah menuliskan, untuk artikel yang berkaitan dengan tema ayah. Sungguh kali ini saya tak mau melewatkan, untuk menceritakan ulang bagi Kompasianers.
Penggalan kisah ini, diambil dari satu bab pada Buku "Semua Ayah adalah Bintang" ditulis Neno W.
"ada keperluan apa kau kemari, wahai anakku?" tanya sang ayah penuh kasih
"ada urusan keluarga, ayah" Jawab sang anak
Maka Sebatang lampu kecil (alat penerangan satu satunya) yang menyala di ruanganpun dipadamkan. Hanya dengan satu tiupan mulut sang pemimpin besar, menjadi gelap gulita ruangan itu
"Kenapa kita bicara dalam gelap begini, ayah?" tanya anaknya tidak mengerti
"Kita tidak menggunakan fasilitas negara untuk mengurus persoalan keluarga. Bicaralah anakku, apa persoalanmu?"
Petikan mutiara kisah terjadi pada masa lalu, sang ayah adalah Khalifah Umar Ibn Abdul Azis, Khalifah kelima, dengan putra beliau yang datang menghadap. Beliau raja yang amat mengagumkan, sampai datang waktu wafatnya, serigala tidak memakan ternak. Keamanahan beliau dalam menjalankan kepemimpinan mengguncangkan jiwa, menoreh kebenaran yang dianut dan diwarisi oleh para pejalan keadilan.
Penggalan kisah sarat hikmah berulang, pada masa yang berbeda. Seorang bapak tentara yang bermobil milik negara. Sedang menjalankan tugas, melewati pintu sekolah. Seorang anak kecil menghadang, namun bagai tak peduli mobil terus melaju.
Ketika berselang waktu sang anak protes saat dirumah, dengan bijak sang ayah menanggapi
"Lha kamu itu siapa? Bapak sedang pakai mobil dinas, Nak. Nggak mungkin Bapak pakai untuk urusan pribadi" jelas sang Bapak tegas dan pasti.
Pemuda kecil yang sedang berdialog, kelak menjadi pemain watak dan amat tersohor. Menerima beragam piala untuk beragam perannya sebagai aktor, sejarah mematri namanya sebagai salah satu sutradara emas. Beliau memiliki sikap berseni yang kuat, karena sekuat keteladanan ayahnya.
--0o0--
Besar pengharapan tercurah bagi anak lelaki, semoga sikap lembut tertanam di benak untuk memperlakukan istrinya kelak. Â Sedang bagi anak perempuan, dia mendapatkan gambaran kelak dalam mencari sosok suami panutan.
Sebagai Ayah Saya adalah Ayah Pembelajar !
Berupaya maksimal dalam bekerja, pulang dengan mempersembahkan nafkah tayyib. Pesan alim ulama saya patri dalam sanubari, makanan yang masuk dalam lambung anak dan istri mempengaruhi pembentukan karakter.
Kalau sedang mendapati istri membangkang, atau melihat anak susah diberi masukan dan nasehat. Ayah pembelajar segera introspeksi diri, siapa tahu ada yang tidak benar dalam proses pencarian nafkah.
Jangan segan ayah minta pendapat pada anak, perihal yang mereka rasakan tentang ayahnya. Minta penilaian tentang sikap ayahnya selama ini, apakah menyebalkan atau menyenangkan. Bersedia membuka dialog dua arah, kalau memang ayah salah jangan malu meminta maaf.
Sebagai ayah saya masih jauh dari kata ideal, maka pada proses belajarlah membawa pada pencerahan. Bahwa kalau ingin memiliki anak hebat, mesti menjadikan diri sebagai ayah hebat. Â
Ayah hebat adalah, ayah yang tidak selalu mau menang sendiri. Ayah hebat adalah, ayah yang bersedia membuka mata, membuka telinga, membuka pikiran dan membuka hati. Ayah Hebat adalah, ayah yang tidak berhenti belajar menjadi ayah terbaik. (wallahu'alam)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H