Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Perlu Hari Pasar Rakyat Nasional?

4 Januari 2017   14:19 Diperbarui: 4 Januari 2017   14:26 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Acara Festival Pasar di Bentara Budaya Jakarta-dokpri

Apa yang terlintas, saat mendengar kata "Pasar Rakyat"?

Seketika muncul di benak saya, sebuah pasar tradisional dengan segenap atmosfir dan cita rasa kerakyatan. Suasana pasar rakyat yang "resep" (dua huruf e dibaca seperti pada kata salep), mengalirkan sebuah keniscayaan akan nilai-nilai humanis yang luhur.

Saya membayang betapa kerennya, kalau diadakan "Hari Pasar Rakyat Nasional". Bukan untuk sekedar gaya-gayaan, tapi lebih pada strategi reminder, atau lebih pada upaya melanggengkan nilai-nilai humanis yang diemban oleh Pasar Rakyat.

Pasar Rakyat dalam Nostagia

Kebetulan masa kanak saya, kerap melewatkan waktu di pasar kecil di kampung halaman. Pasar desa dengan hitungan mengacu hari pasaran, yaitu Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Pahing.

Di pasar kami, Pon adalah hari pasaran paling riuh. Selain banyak pedagang dari luar desa datang, ada tambahan pedagang ternak sapi. Sementara pada hari pasaran Kliwon, pedagang sapi diganti dengan pedagang kambing. Jam Buka hari pasaran Pon dan Kliwon, lebih panjang yaitu jam tujuh sampai jam satu atau dua siang.

Suasana pasar semakin ramai, kalau hari pasaran Pon atau Kliwon bertepatan hari minggu atau hari libur. Selain para ibu yang datang, kaum bapak dan anak-anak tumplek blek di pasar. Moment ini menjadi istimewa bagi pedagang, karena barang jualannya banyak yang laku.

Selain dua hari pasaran tersebut, suasana pasar relatif sepi, hanya diisi pedagang dari kampung sendiri. Banyak lapak yang tutup, bahkan yang buka tidak sampai separuhnya. Mereka adalah penjual bahan makanan, sayuran dan buah serta pedagang kayu bakar. Pada hari pasaran Wage, Legi dan Pahing, pasar buka dari jam tujuh sampai jam sebelasan.

Setiap Pasar di desa punya hari pasaran ramai berbeda, mungkin Legi dan Pon, Kliwon dan Pahing atau Wage dan Legi dan seterusnya. Kesepakatan tidak tertulis ini, entahlah siapa yang mulanya menginisiasi. Mungkin dihitung berdasar penanggalan jawa, dengan mempertimbangkan hari baik atau apalah saya tidak memahami.

Karena antara desa beda hari pasaran ramai, kesempatan pedagang tidak tetap berpindah mengikuti jadwal.

Pasar Rakyat di Kampung Halaman -dokpri
Pasar Rakyat di Kampung Halaman -dokpri
Semasa ibu masih muda,  beliau membuka warung di satu sudut pasar. Lapak ukuran 2 x 2,5 meter, berdinding dari papan kasar tanpa diserut, lantai tanah tanpa diplur semen, dengan meja terbuat dari bambu.

Lapak ibu buka selama lima hari pasaran, sehingga bisa merasakan bagaimana beda hari pasaran ramai dan hari pasaran sepi. Saya yang masih berseragam merah hati, membantu ibu saat sekolah sedang libur.

Komposisi pengaturan dagangan cukup saya hapal, hingga jelang merantau selepas Sekolah Atas posisinya tidak berubah.

Baskom ukuran sedang ditata berjajar,  pada bagian depan berisi ikatan mie bihun, krupuk mentah berderet empat dengan jenis dan harga berbeda. Baris kedua berjajar wadah senada, berisi biji kopi (dua jenis), kacang kedelai, kacang ijo, kacang sambal. Pada dibaris terakhir, mie kuning kriting berbentuk kotak dibiarkan dalam plastiknya, gula merah bentuk batok kelapa, telur, timbangan dan ember berisi minyak goreng curah.

Di belakang kursi tempat ibu duduk, dibuat rak gantung dua lapis dengan penahan di bawahnya. Bagian bawah berisi gula pasir, teh, tepung terigu, dan dagangan sejenis. Rak bagian atas, tertara sabun mandi batang, sabun cuci colek, odol dan beberapa shampo botol.

Pada langit-langit dibuat gantungan dari kawat, menjulur kopi instan, bumbu masak, kecap sachet, shampo sachet, bungkusan bumbu dapur, dan semacamnya.

Dari lapak sempit inilah, ibu membantu suaminya yang seorang guru memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Tugas belanja dagangan ke kota pada sore hari, menjadi bagian ayah sepulang mengajar. Dengan mengendarai angkutan umum, menempuh perjalanan sekitar tigapuluh menit. Kalau belanjaan sedang banyak, pihak toko langganan menyediakan mobil box pengantar secara cuma-cuma.

Dari rutinitas membantu ibu di warung, saya hapal harga barang-barang. Mulai dari harga minyak goreng sampai sabun mandi, mulai dari harga bumbu dapur sampai kacang kedelai. Beberapa pelanggan ibu saya kenal, kebanyakan ibu-ibu dari luar desa.

"Yu Nah tukang kayu, sudah sepasaran ini ga kelihatan yo lek ?" tanya ibu pada pedagang krupuk.

"Enggih bu, minggu depan Yu Nah mantu"

"Mantu anak yang mana"

"Itu yang kerja di Pabrik kain di Solo"

Dialog ini saya dengar, ketika satu penghuni pasar lama tidak muncul. Tak berhenti pada percakapan saja, action segera dilakukan oleh ibu.

"Nduk, sini tak bilangin" panggil ibu pada tukang angkut barang

"Nopo to bu"

"Nanti, selesai pasar kamu ke rumahku yo, bantuin ndeplok kopi, buat yu Nah"

"Enggih bu, jam tiga-an nggih" kesepakatan terjadi

Tak hanya saat penghuni pasar bersuka cita, ibu dan pedagang lain membantu saat ada penghuni pasar atau pelanggan ada yang kesusahan. Sekilo gula, kopi atau minyak goreng dititipkan, sebagai bentuk empati sekaligus penghiburan.

-0o0o0-

Suasana sebuah Mall -dokpri
Suasana sebuah Mall -dokpri
Kini setelah kampung halaman saya tinggalkan, hidup di kota membuat saya relatif jarang pergi ke pasar rakyat. Pilihan Mini market, Pasar Modern atau bahkan Mall, dengan mudah dijumpai di mana-mana.

Tentu suasana dan atmosfir yang ditawarkan sangat jauh berbeda, dengan suasana pasar rakyat yang dulu kerap saya datangi. Pada pasar modern, cenderung minim interaksi antar penjual dan pembeli. Hubungan yang terjadi dominan pada transaksi jual beli, hanya mengedepankan untung dan rugi semanta.

Semantara pada pasar rakyat, yang berlangsung lebih tidak sekedar transaksi jual beli demi menengguk keuntungan semata. Ada nilai-nilai kemanusiaan, yang dihantarkan pada hubungan sesama manusia bukan antar pedagang dan pembeli.

Berikut Nilai- Nilai dari Pasar Rakyat

1. Penguatan Ekonomi

Pasar tetap pada esensinya, sebagai tempat transaksi antara penjual dan pembeli. Dari pasarlah, petani singkong, ubi, padi, jagung dan sebagainya, bisa menjual hasil panennya. Mereka menjual langsung tanpa perantara, sehingga harga yang ditetapkan masih harga murni.

Masalah harga sangat bisa tawar menawar, kesepakatan terjadi adalah tidak memberatkan dua pihak. Dampak yang terjadi adalah perputaran roda perekonomian, sekaligus peluang peningkatan taraf hidup masayarakat bisa diraih.

2. Menciptakan Peluang Mandiri dan Kerjasama

Pasar rakyat sebagai akses mandiri yang sangat terbuka, tidak terlalu ribet secara prosedural. Bagi ibu rumah tangga yang ingin meringankan beban suami, berdagang adalah jalan relatif paling mudah. Tidak dibutuhkan persyaratan akademis tertentu, cukup dengan membawa dagangan bisa langsung dijual.

Aspek kerjasama suami dan istri yang berlangsung, berdampak pada keharmonisan rumah tangga. Sang istri seharian menjaga warung, suami mendapat tugas belanja dagangan, begitu seterusnya.

Bagi pedagang baru, bisa membantu menjualkan barang dagangan pedagang lainnya. Sistem yang bisa diterapkan adalah mengambil barang dulu, dibayar setelah dagangan laku. Selisih keuntungan didapat, menjadi bagian pedagang baru tersebut.

Tak perlu membuat lapak, tinggal duduk di lantai pasar menghadap dagangan, pembeli akan datang dengan sendirinya. Jelas sekali selain sisi kemandirian tercapai, juga pintu kerjasama antar pedagang terbuka lebar.

3. Hubungan Persaudaraan dan Saling Membantu

Pasar dengan kemajemukan penghuni, terdapat pedagang kayu, pedagang sayur, pedagang krupuk, pedagang kain, pedagang cangkul, pedagang baju, pedagang mainan dan pedagang macam-macam.

Dengan intensitas pertemuan yang kontinyu dan ajeg, tentu menambah hubungan pesaudaraan. Ibu sangat tidak keberatan, ketika dilapaknya dititipi dagangan tukang kayu yang belum laku. Keesokkan hari saat pasar buka, diambil dagangan yang dititip untuk dijual kembali.

Eits, terjadi juga kemungkinan. Anak antar pedagang saling dijodohkan, sehingga persaudaraan semakin besar dan melebar.

Pada Pasar Rakyat hubungan antar manusia berlangsung, bukan sekedar hubungan pedagang dan pembeli -dokpri
Pada Pasar Rakyat hubungan antar manusia berlangsung, bukan sekedar hubungan pedagang dan pembeli -dokpri
4. Memupuk Rasa Empati

Dari pertemanan antar pedagang, akan menumbuhkan perasaan saling menolong. Saat satu pedagang sedang kesusahan, pedagang lain membahu untuk membantu semampunya. Pun saat satu pedagang punya hajatan misalnya, pedagang lain datang turut bersuka cita.

5. Hiburan

Bagi saya yang kala itu masih kanak, pasar menjadi tempat melihat permainan sulap. Biasanya sih, sang pesulap sekaligus penjual obat-obatan. Kami anak dusun yang haus akan hiburan, melihat permainan sulap sebagai saat menyenangkan hati.

Saya bisa merasakan berdebar hati ini, melihat perempuan kecil diikat erat dengan tali. Dua mata anak itu ditutup, kemudian dimasukkan dalam kotak tertutup dilapisi kain hitam.

Setelah si anak masuk kota, pesulap menawarkan aneka obat-obatan, mulai penumbuh jenggot, obat sakit kulit, ramuan encok dan sebagainya.

Kami anak-anak baru beranjak, setelah melihat gadis kecil keluar dari kotak dalam keadaan bebas---waah sudah seru, gratis lagi, hehehe.

6. Pertukaran Informasi

Komunikasi dan interaksi terjadi, baik antar pedagang, pelanggan serta pelaku pasar lainnya. dari proses ini, sangat mungkin terjadi pertukaran kabar, baik berita menyedihkan atau menyenangkan.

Dulu satu pedagang sempat bertanya pada ibu, bagaimana kalau anak mau kuliah di Surabaya. Kebetulan kakak nomor dua berkuliah di kota Pahlawan, ibu dengan senang hati memberi informasi

7. Keberlangsungan Adat budaya

Sebelum ibu membuka warung di pasar kampung, nenek saya pedagang daging kambing. Semasa kecil ibu membantu nenek, setelah menikah ibu punya lapak sendiri.

Hal serupa kini terjadi, istri dari anak nomor empat melanjutkan jualan di lapak ibu. Hal yang sama terjadi pada pedagang lain, jejak yang dirintis dilanjutkan keturunan berikutnya. Kebiasan ini tentu sangat baik, tradisi atau adat berjualan tidak terputus.

-0o0o0-

Suasana Acara Festival Pasar di Bentara Budaya Jakarta-dokpri
Suasana Acara Festival Pasar di Bentara Budaya Jakarta-dokpri
Kompasianers ingat ga?

Apa yang terjadi setelah ditetapkan hari batik, semangat berbatik berlangsung di negeri tercinta. Busana batik dipakai dalam banyak kesempatan, tak hanya menunggu saat kondangan atau hajatan saja. Dampak yang dirasakan pengusaha batik, omset penjualan meningkat pesat.

Bagaimana kalau dicanangkan Hari Pasar Rakyat Nasional ?

Bukan mustahil semangat serupa akan terjadi, masyarakat berbondong-bomdong berbelanja di pasar rakyat.

Siapa yang diuntungkan?

Tentu pedagang di pasar dan masyarakat sekitarnya, mereka akan terdongkrak taraf hidupnya.

Pencanangan hari Pasar rakyat nasional bukan sekedar untuk legitimasi, tapi sebagai upaya melanggengkan nilai humanis dari sebuah pasar rakyat. Nilai- nilai yang tidak didapatkan dan tidak dimiliki, dari pasar modern seperti Supermarket atau Mall sekalipun.

Seberapa Urgent Hari Pasar Rakyat ?

Sangat urgent, sepenting penanaman nilai luhur yang diemban oleh Pasar Rakyat.

Terima Kasih.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun