[caption caption="illustrasi Kampung Halaman- dokpri"][/caption]Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah
Kau akan dapat pengganti dari kerabat dan kawan
----
-----
Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur
Tak akan kena sasaran.
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak  dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
---
---
(Imam Syafii ; 767 - 820 M)
Beruntung saya gemar membaca, sampai suatu saat menjumpa kalimat indah dan luar biasa ini. Meski begitu, sejatinya keputusan merantau saya lakukan jauh hari sebelum membaca karya Imam Syafii ini. Sudah lebih dari dua dasawarsa, jejak kaki ini meninggalkan kampung. Selama itu pula, pengalaman baik pahit, getir dan manis hidup saya rasakan.
Memang ada semacam tradisi di kampung saya, utamanya setelah lulus Sekolah Menengah Atas. Pemuda pemudi di desa, dituntut menentukan jalan menuju masa depan. Ada yang meneruskan kuliah, atau ada yang bekerja di kota besar. Baru setelah lulus perguruan tinggi, ada yang kembali ke kampung namun kebanyakan tetap bertahan di kota.
Maka setiap pulang, saya sudah tak mengenal wajah-wajah yang saya jumpai. Pada teman semasa SD, SMP atau SMA, sudah menyebar kemana-mana. Kebanyakan yang tinggal adalah orang yang sudah sepuh, atau anak-anak masih kecil dan usia remaja.
Dunia rantau sendiri, bagi saya telah memproses banyak hal. Kepahitan demi kepahitan berseling manis hidup, berperan membentuk menjadi pribadi yang tangguh. Tak gampang merasa kecewa, pun tak gampang jumawa. Semua peristiwa kehidupan, sejatinya datang silih berganti. Tak ada yang berlaku seterusnya, tak ada yang permanen selamanya.
Pulang adalah Obat
Pada ibu di kampung, komunikasi saya tak putus. Secara rutin menghubungi perempuan sepuh ini, sekedar menanya kabar.
"denger suaramu sudah ilang kangenku" kalimat dari ibu dari ujung telepon.
Pada ibulah saya berbakti, seperti dawuh kanjeng Nabi Muhammad SAW. Yang wajib dihormati adalah ibumu, ibumu, ibumu baru ayahmu. Kalimat manusia sempurna ini, benar saya hunjamkan di kalbu. Sehingga saya menghormati ibu semampu saya bisa, baik dengan sikap dan ucap. Meski sedikit, saya usahakan rutin mengirim ke rekening beliau setiap bulan.
"Matur suwun ya le, bisaku cuma matur suwun dan doain kamu" ujar ibu
Selalu saja suara paraunya terdengar usai transfer, menghadirkan suasana melankoli. Bagi saya doa ibu, adalah senjata ampuh menghadapi onak duri dan segala macam tantangan. Maka ketika tiba-tiba saya mendapat kemudahan menyelesaikan urusan, benak ini terbayang wajah perempuan 70 tahun di pelosok kampung.
Pertegahan bulan ini ada yang lain, suara ibu tak lagi menyahut ketika ditelepon. Melainkan kakak ipar perempuan, yang mengangkat sambungan komunikasi. Terdengar kabar ibu masuk Rumah Sakit, dengan keluhan tiba-tiba suka menggigil.
Memang tak bisa seketika saya beranjak, karena terikat urusan yang sudah tersepakati. Namun harus mengatur waktu, "Aku Harus Pulang" tekad ini membulat. Tiba-tiba ada yang hilang, setelah seminggu saya tak bisa berbincang. Doa demi doa saya panjatkan, demi kesembuhan ibunda.
"Pulang Gung, siapa tahu bisa jadi tombo" nasehat kakak ipar
Pagi belum terlalu sempurna, bus antar kota mengantar saya sampai di terminal Maspati. Kakak mbarep yang sudah koordinasi via SMS, menjemput begitu bus sampai. Kami langsung menuju Rumah Sakit,
[caption caption="Dokumen Pribadi"]
Wajahnya mulai segar, meski terlihat lemas dan sedikit pucat. Begitu tahu anak ragilnya mendekat, butiran air bening keluar dari sudut matanya.
"Le kowe teko (kamu datang)" kalimatnya lemah
Saya pijiti tangan dan kakinya, sembari mengucapkan apapun yang terlintas di benak. Memandangi wajahnya yang keriput, mengusap kening dan rambutnya yang sudah memutih.
"Yang Ikhlas dan pasrah nggih buk" bisik saya.
Ibu lumayan dekat dengan saya, kakak- kakak mengakui hal itu. Kedekatan memang sengaja saya bangun, sebagi wujud berbakti. Obrolan dari hati ke hati, sembari bercerita apapun tentang menantu dan cucu.
Semalam saya menginap di Rumah Sakit, menemani ibunda yang terbaring. Keesokan pagi saya harus pamit, ibu cukup memahami keadaan. Sepanjang perjalanan pulang, masih saja lekat wajah ibu di mata. Sampai sebuah telepon masuk dari kakak ipar, mengabarkan ibu boleh pulang.
Ah lega, "bisa jadi karena kangen, jadi pulangmu menjadi obatnya" terdengar suara kakak ipar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H