---
(Imam Syafii ; 767 - 820 M)
Beruntung saya gemar membaca, sampai suatu saat menjumpa kalimat indah dan luar biasa ini. Meski begitu, sejatinya keputusan merantau saya lakukan jauh hari sebelum membaca karya Imam Syafii ini. Sudah lebih dari dua dasawarsa, jejak kaki ini meninggalkan kampung. Selama itu pula, pengalaman baik pahit, getir dan manis hidup saya rasakan.
Memang ada semacam tradisi di kampung saya, utamanya setelah lulus Sekolah Menengah Atas. Pemuda pemudi di desa, dituntut menentukan jalan menuju masa depan. Ada yang meneruskan kuliah, atau ada yang bekerja di kota besar. Baru setelah lulus perguruan tinggi, ada yang kembali ke kampung namun kebanyakan tetap bertahan di kota.
Maka setiap pulang, saya sudah tak mengenal wajah-wajah yang saya jumpai. Pada teman semasa SD, SMP atau SMA, sudah menyebar kemana-mana. Kebanyakan yang tinggal adalah orang yang sudah sepuh, atau anak-anak masih kecil dan usia remaja.
Dunia rantau sendiri, bagi saya telah memproses banyak hal. Kepahitan demi kepahitan berseling manis hidup, berperan membentuk menjadi pribadi yang tangguh. Tak gampang merasa kecewa, pun tak gampang jumawa. Semua peristiwa kehidupan, sejatinya datang silih berganti. Tak ada yang berlaku seterusnya, tak ada yang permanen selamanya.
Pulang adalah Obat
Pada ibu di kampung, komunikasi saya tak putus. Secara rutin menghubungi perempuan sepuh ini, sekedar menanya kabar.
"denger suaramu sudah ilang kangenku" kalimat dari ibu dari ujung telepon.
Pada ibulah saya berbakti, seperti dawuh kanjeng Nabi Muhammad SAW. Yang wajib dihormati adalah ibumu, ibumu, ibumu baru ayahmu. Kalimat manusia sempurna ini, benar saya hunjamkan di kalbu. Sehingga saya menghormati ibu semampu saya bisa, baik dengan sikap dan ucap. Meski sedikit, saya usahakan rutin mengirim ke rekening beliau setiap bulan.
"Matur suwun ya le, bisaku cuma matur suwun dan doain kamu" ujar ibu